Minggu, 06 Juni 2010

SINDROM ASPERGER

Adi (5 tahun), tampak sehat dan cerdas masuk ke ruang praktek dokter. Menjawab pertanyaan dengan santun, ”Kabar saya baik, bagaimana dengan kabar Anda?” Ketika dokter bertanya tentang sekolah, tiba-tiba Adi bercerita tentang Anak Gunung Krakatau yang dikabarkan akan meletus, lengkap dengan cerita bagaimana terjadinya proses letusan gunung berapi disertai banjir lahar dan lava serta mengajak sang dokter berdiskusi tentang Gunung Kelud yang memperlihatkan gejala sama.

Topik pembicaraan tidak juga beralih meskipun dokter berusaha mengalihkan pembicaraan dengan pertanyaan ringan seputar teman sekolahnya. Orang tua Adi bercerita bahwa putera mereka mengenal huruf sejak usia 18 bulan dan dapat membaca dengan belajar sendiri sebelum berusia 3 tahun. Sejak bisa membaca Adi lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca sains ketimbang bermain bola atau sepeda. Jeniuskah Adi? Pastinya ya, lalu apa yang salah dengan Adi?

Di sekolah ternyata teman-teman Adi tidak suka bermain dengannya karena menganggap Adi aneh. Alih-alih membicarakan film Spongebob dengan teman-temannya, Adi lebih suka bercerita bagaimana pesawat ruang angkasa bisa mendarat di bulan. Adi pun sering diejek karena tutur katanya sangat sopan seperti di buku bahasa dengan intonasi yang datar dengan gaya bahasa seperti orang dewasa. Adi juga kerap balik menirukan pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Di mata guru, Adi anak yang sangat cerdas, ”berbeda” dengan anak lain, lebih senang menyendiri dan sibuk dengan buku dan kadang tidak perduli dengan orang lain atau jika diajak bicara. Apa masalah yang terjadi pada Andi? Autis ? anak super jenius?…… ternyata bukan, Adi menunjukkan gejala sindrom Asperger.

Apa itu sindrom Asperger ? apakah termasuk bagian dari autis?

Sindrom Asperger (SA) termasuk gangguan perkembangan yang mempengaruhi kemampuan seorang anak untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Anak laki-laki 3-4 kali lebih banyak terkena dibandingkan anak wanita.

Tanda dan gejala anak SA antara lain :

Problem sosialisasi :

  • Anak SA sebenarnya ingin berteman tetapi sering ditolak atau diejek oleh teman-temannya.
  • Kurang atau tidak mengerti bagaimana perasaan orang lain.
  • Tidak mengerti humor dan norma-norma sosial yang berlaku
  • Menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku.
  • Kurang fleksibel karena lebih suka pada rutinitas sehingga sulit beradaptasi

Problem komunikasi :

  • Dalam percakapan, anak SA akan lebih banyak bicara tentang hal yang diminatinya tanpa memperdulikan apakah lawan bicaranya tertarik atau mengerti apa yang dibicarakan.
  • Tidak memahami komunikasi non verbal seperti ekspresi dan bahasa tubuh orang lain serta kurangnya kontak mata.
  • Terobsesi pada hal-hal yang sangat spesifik seperti statistik, jadwal kereta, cuaca dll.
  • Berbicara dengan suara yang monoton, datar, formal dengan kecepatan yang lambat atau cepat.
  • Kurang mampu berkomunikasi dua arah.
  • Kerap menginterupsi pembicaraan.

Problem motorik dan sensorik:

  • Koordinasi motorik halus yang kurang atau clumsy (canggung)
  • Kurang dapat menjaga keseimbangan dan meniru gerakan yang bersifat cepat, halus dan ritmik serta tulisan tangan yang tidak rapi,
  • Sensitif terdahadap suara, raba, rasa, cahaya, bau, nyeri dan suhu serta tekstur makanan.

Penyebab SA belum banyak diketahui, diduga karena faktor genetik dan kelainan struktural daerah tertentu di otak.

Bagaimana membedakan SA dengan autis terutama jenis high functioning autis (autis dengan kemampuan verbal dan kognitif yang baik) ?

Autis juga bermasalah dalam hal komunikasi dan sosialisasi serta minat yang terbatas. Beberapa ahli memasukkan SA dalam ASD (Autistic Spectrum Disorder). Ahli lain menyatakan bahwa SA berbeda dengan autis maupun ASD. Akan tetapi hampir semua sepakat bahwa perbedaan utama antara SA dengan autis maupun ASD adalah anak SA memperlihatkan perkembangan bahasa/bicara serta kecerdasan yang normal sesuai usianya, bahkan kemampuan ini kadang melebihi usia. Sehingga anak SA tidak datang dengan keluhan terlambat bicara tetapi dengan keluhan masalah di sekolah karena kurangnya sosialisasi atau dianggap aneh.

Apakah anak kita menunjukkan gejala SA ?

Kadang sulit untuk dijawab karena sebagian anak masih bersifat egosentris dalam bersosialisasi serta membicarakan hal-hal yang itu-itu saja seperti mainan atau tokoh kartun favoritnya.Tetapi jika hal-hal tersebut sampai mengganggu sosialisasi dengan teman-temannya , menganggu proses belajar serta anak kita dianggap eksentrik maka sebaiknya berkonsultasi dengan para ahli.

Referensi

  • http://www.emedicinehealth.com
  • A parents guide to Asperger Syndrome & High functioning autism, by Sally Ozanoff PhD, Geraldine Dawson PhD, James Mc Portland, PhD

CEGUKAN PADA ANAK

Benarkah cegukan disebabkan karena bayi/anak kurang minum. Berbahayakah? Bagaimana mencegahnya?

Sekat rongga dada (diafragma) adalah otot yang membatasi rongga dada dengan rongga perut yang selalu bergerak setiap waktu. Bila kita menarik napas maka diafragma akan berkontraksi dan tertarik ke bawah untuk membantu mengisap udara, sebaliknya bila kita menghembuskan napas diafragma terdorong ke rongga dada untuk membantu pengeluaran napas.

Cegukan (hiccups) atau dalam bahasa medisnya disebut singultus adalah kontraksi tiba-tiba yang tak disengaja pada diafragma. Akibat kontraksi tersebut akan timbul hisapan udara secara mendadak masuk ke dalam paru melewati ruang antara pita suara (glottis), sehingga menyebabkan terjadinya suara “hik” yang khas. Kontraksi yang tiba-tiba tersebut terjadi akibat adanya rangsangan pada diafragma seperti makan terlalu cepat, minum air terlalu dingin, makan makanan yang sangat panas atau pedas, tertawa atau batuk terlalu keras atau minum minuman yang beralkohol.

Cegukan biasanya akan hilang dengan sendirinya atau hilang saat si kecil tidur meskipun ada beberapa cara untuk mempercepat menghentikan cegukan. Cegukan yang berlangsung lebih dari satu jam harus diwaspadai dan sebaiknya segera meminta pertolongan dokter untuk memastikan apakah terdapat kelainan yang serius.

Kelainan yang dapat menimbulkan cegukan antara lain

  1. adanya gangguan saraf diafragma,
  2. radang paru, kelainan di otak seperti tumor,
  3. penyakit ginjal,
  4. gangguan keseimbangan elektrolit.

Apa yang dapat dilakukan bila si kecil cegukan?

Bila si kecil mengalami cegukan ada beberapa hal dapat dilakukan untuk menghentikannya;

  1. Berikan minum air hangat
  2. Menarik napas dalam tahan sebentar lalu dihembuskan
  3. Tidur berbaring dengan lutut ditekuk
  4. Makan sesendok gula
  5. Meletakkan kantong kertas di depan mulut dan mencoba bernapas dari kantong kertas itu selama beberapa menit.

Untuk mencegah terjadinya cegukan ada beberapa hal yang dapat dilakukan;

  1. Jangan memberikan makan atau minum terlalu cepat
  2. Berikanlah air putih 1 – 2 sendok teh kepada bayi setelah minum susu.
  3. Jangan mengajak bercanda bayi sesaat setelah minum susu, berikan waktu istirahat sekitar setengah jam setelah dia minum susu.
  4. Hindari tidak ada udara yang terlalu banyak saat si kecil minum susu.
  5. Sendawakan bayi setelah minum susu

Secara umum cegukan pada bayi dan anak merupakan hal yang tidak perlu dikhawatirkan. Meskipun demikian jangan anggap sepele bila cegukan berlangsung terus menerus lebih dari satu jam.



Sumber :

  1. Pediatrics, 2005
  2. American Academy of Family Physicians, 2005

KRITERIA DIAGNOSIS ADHD

ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)


A. 1 atau 2

1. Enam (atau lebih) gejala inatensi/ gangguan konsentrasi yang menetap 6 bulan atau

lebih dengan derajat berat dan tidak sesuai dengan umur perkembangan.


INATTENSI / GANGGUAN KONSENTRASI

a. Sering gagal memberi perhatian yang cukupterhadap detail, atau membuat

kesalahan karena ceroboh saat mengerjakan pekerjaan sekolah, bekerja atau

aktivitas lain

b. Sering sulit mempertahankan pemusatan perhatian saat bermain atau bekerja

c. Sering seperti tidak mendengarkan bila diajak berbicara

d. Sering tidak enurut instruksi dan gagal mengerjakan pekerjaan sekolah, tugas

di pekerjaan (bukan karena melawan atau bukan karena tidak mengerti)

e. Sering mengalami kesulitan mengorganisir tugas dan aktivitas

f. Sering menghindari, tidak menyukai, atau menolak untuk melakukan tugas

yang memerlukan konsentrasi penuh, misalnya pekerjaan rumah atau pekerjaan

sekolah

g. Sering kehilangan barang-barang yang diperlukan sehari-hari untuk

menyelesaikan tugas dan aktivitas, misalnya mainan, pinsil, buku)

h. Perhatiannya mudah terpecah bila ada rangsang dari luar

i. Pelupa dalam aktivitas sehari-hari


2. Enam atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas, yang menetap 6 bulan atau

lebih, dengan derajat berat dan tidak sesuai dengan umur perkembangan


HIPERAKTIVITAS

a. Sering bermain jari atau tidak dapat duduk diam

b. Sering meninggalkan kursi di sekolah atau di situasi lain yang memerlukan

duduk di kursi

c. Sering lari dan memanjat berlebihan di situasi yang tidak tepat. Pada anak

remaja terlihat sebagai rasa gelisah.

d. Sering mengalami kesulitan bermain atau aktivitas lain yang memerlukan

ketenangan

e. Selalu bergerak, seperti didorong motor

f. Sering berbicara terlalu banyak


IMPULSIVE

g. Sering menjawab sebelum pertanyaan selesai ditanyakan

h. Sering sulit menunggu giliran

i. Sering menginterupsi atau mengganggu anak lain, misalnya menyela suatu

percakapan, masuk ke dalam permainan tanpa “antri”

B. Gejala hiperaktif-impulsif mulai terlihat sebelum berumur 7 tahun

C. Gejala terjadi di dua situasi berbeda atau lebih misalnya di sekolah dan di rumah

D. Adanya gangguan bermakna dalam fungsi sosial, akademis, atau pekerjaan

E. Gejala bukan merupakan bagian gangguan perkembangan pervasif (autisme),

schizophrenia, atau gangguan jiwa berat lain, dan bukan disebabkan gangguan

mood, kecemasan atau ansietas, gangguan disosiasi, atau gangguan kepribadian

Tipe:

1. Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, tipe kombinasi bila didapat

kriteria A1 dan A2 selama 6 bulan terakhir

2. Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, tipe inatensi bila kriteria A1

dipenuhi tetapi kriteria A2 tidak dipenuhi selama 6 bulan terakhir

3. Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, tipe hiperaktif-impulsif bila

kriteria A2 dipenuhi tetapi kriteria A1 tidak dipenuhi selama 6 bulan terakhir



Sumber: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Ed. (DSM-IV).
Copyright 1994. American Psychiatric Association

Kamis, 03 Juni 2010

STRESS PADA ANAK

Stres bisa menyerang siapa saja, tak terkecuali anak-anak. Dalam batas tertentu stres dan
rasa cemas adalah hal yang normal dan sehat bagi anak-anak.

Jika dilihat dari stresornya (situasi yang menegangkan), stres dapat dibedakan menjadi 2 macam :
1. Eustress
merupakan stres yang sehat atau stres yang memberikan perasaan positif.
Seringkali jenis stres ini merupakan hasil dari mencoba hal-hal baru, menjaga persahabatan
dan terlibat dalam rutinitas sehari-hari.
Eustress bahkan bisa mendorong anak-anak maju dan memberi mereka rasa kepuasan,
sehingga Anda tidak perlu merasa khawatir dengan eustress.

2. Distress.
terjadi ketika seorang anak tidak dapat menyesuaikan diri atau menjadi kewalahan
dengan situasi kehidupan atau rasa tanggung jawab. Distress biasanya memiliki implikasi
negatif bagi anak-anak dan perlu disikapi lebih awal. Bahkan anak terkecil pun dapat
terpengaruh oleh stres ini, secara emosional, perilaku maupun fisik.



Beberapa perilaku khas yang mengindikasikan distress pada anak :

1. Agresi yang meningkat
2. Mengisolasi dari keluarga dan teman
3. Menangis yang tidak biasa
4. Mendadak mengompol
5. Perubahan kebiasaan makan dan tidur
6. Sering mengalami tantruming
7. Gugup, gelisah atau tidak tenang
8. Mengalami sakit perut, sakit kepala atau keluhan fisik lainnya
9. Sering bermasalah di sekolah
10. Merasa cemas


Perlu diingat bahwa semua anak mungkin mengalami beberapa perilaku tersebut pada titik-titik yang berbeda dalam masa perkembangan mereka. Biarkan anak mengetahui bahwa setiap orang pernah mengalami stres dan perasaan – perasaan seperti gelisah, marah dan kesepian adalah hal normal.
Jika perilaku tersebut berlangsung lama, hingga menyebabkan kecemasan yang signifikan atau masalah di sekolah, maka Anda perlu berkonsultasi dengan dokter anak, sekolah atau seorang konselor profesional. Evaluasi yang lebih formal mungkin diperlukan.


Petunjuk yang bisa mengurangi distress dalam kehidupan anak :

1. Jangan meremehkan kekuatan tidur dan gizi. Jangan tidur kurang dari 8 jam setiap
malam. Kurangi asupan gula dan kafein. Sebaiknya mengonsumsi makanan rumah.

2. Bicara, bicara dan bicara.
Atur waktu untuk mengecek dan mencari tahu tentang anak Anda secara rutin,
misalnya mengenai lingkungan teman, sekolah dan keluarga. Meskipun jika Anda tidak
setuju dengan pikiran dan perasaan mereka, berusahalah untuk menjadi teman curhat
mereka. Perasaan yang diinternalisasi dan tak terucapkan, adalah sumber utama dari stres.

3. Libatkan anak Anda dalam kegiatan fisik. Bergabung dalam tim olahraga atau bersepeda
dan berjalan merupakan syarat keberhasilan dalam mengelola stres.

4. Persiapkan anak dalam menghadapi situasi yang menegangkan atau yang bisa
membuatnya stres. Misalnya, pindah rumah, perubahan sekolah, janji bertemu
dengan dokter, ujian sekolah, bahkan liburan. Susunlah rencana tentang bagaimana
ia dapat mengatasi situasi yang sedang dihadapinya.

5. Jangan memenuhi jadwal anak-anak Anda dengan kegiatan ekstrakurikuler.
Anak-anak juga perlu waktu untuk bersantai, bermain, menikmati kebebasan dan
bahkan merasakan bosan!

6. Ingat bahwa kita tidak bisa sepenuhnya melindungi anak-anak kita dari stres.
Membantu anak Anda mengembangkan keterampilan yang solid untuk mengatasi
masalah mereka adalah sebuah hadiah yang luar biasa.

MIMISAN PADA ANAK

DALAM masa pertumbuhan, anak sering kali mengalami mimisan (epistaksis). Selain disebabkan kelainan pembuluh darah, perubahan cuaca juga menjadi pemicu. Mimisan adalah pendarahan dari hidung. Jika tidak ada penyakit lain, mimisan biasanya hanya merupakan kelainan pada pembuluh darah di hidung.

Secara umum, mimisan terjadi akibat pembuluh darah yang pecah di daerah hidung bagian tengah, namanya pleksus kieselbach. Pembuluh darah ini merupakan anyaman jaringan pembuluh darah yang sangat halus dan tipis.

Pada anak-anak, pembuluh darah ini mudah berdarah terutama kalau ada infeksi di daerah hidung. Akibat infeksi, pembuluh darah yang tipis tersebut akan melebar dan kalau tersenggol sedikit saja akan mudah pecah.

Penyebab

- Udara panas dan kering
Udara panas dan kering membuat selaput lendir dalam hidung menjadi kering
dan pecah sehingga darah keluar.
- Pilek
Saat pilek kadang ia mencoba membuang lendir dalam hidung terlalu keras.
Hal ini tentu saja bisa mengakibatkan mimisan.
- Sering mengorek hidung
Kebiasaan mengorek-ngorek hidung juga menjadi penyebab mimisan.
Jangan biarkan si kecil mengorek-ngorek hidungnya terlalu dalam.
- Obat-obatan
Kandungan asetosal dan ibuprofen dalam obat-obatan tertentu dapat menimbulkan
mimisan pada anak. kandungan ini menyebabkan darah lama membeku
sehingga anak mudah mimisan.

Pertolongan pertama yang dapat Bunda lakukan di rumah :

- Dudukkan si kecil dan suruhlah si kecil agak membungkuk ke depan.
Setelah itu bernapaslah melalui mulut.
- Tekan cuping hidung (di atas lubang hidung) selama 5 menit,
bila masih berdarah lakukan lagi selama 10 menit.
- Kompres hidung dengan air dingin supaya aliran darah ke hidung lebih lambat.
- Kalau masih berdarah segeralah bawa ke ruang gawat darurat.


Berikut kiat-kiat mencegah mimisan :

- Perhatikan apakah si kecil sering mengorek hidung. Bila ya peringatkan untuk
berhenti melakukannya. Kalau masih melakukan peringatkan lagi sedikit lebih keras.
- Jauhi anak dari asap rokok atau bahan kimia lainnya. Beberapa anak alergi terhadap
asap rokok dan zat kimia tertentu.
- Bila cuaca dirasa terlalu kering gunakan pelembab ruangan.
Pastikan keadaan rumah selalu dalam ekadaan bersih.
- Teteskan larutan air garam atau oleskan cream pelembab ke dalam hidung untuk
membasahi hidung sehingga selaput lendir tidak kering.
- Sebisa mungkin hindari anak dari benturan di hidungnya.



sumber :
1. conectique

Selasa, 25 Mei 2010

SAKIT PERUT PADA ANAK

Pendahuluan

Batasan sakit perut berulang adalah serangan sakit perut yang timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan, dan mengakibatkan aktifitas terganggu.

Sakit perut berulang biasanya terjadi pada anak usia lima hingga 14 tahun, sementara frekuensi tertinggi pada usia 5-10 tahun. Apley menemukan bahwa nyeri perut terjadi pada 10-12% anak laki-laki usia 5-10 tahun dan menurun setelah usia itu. Anak perempuan cenderung lebih sering menderita sakit ini dibandingkan anak laki-laki (Perempuan:Laki-laki=5:3). Penting diketahui, sakit perut ini jarang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun dan di atas 15 tahun.

Kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang terdapat pada 5-15,6% kasus sedangkan 80% kasus disebabkan kelainan fungsional saluran cerna. Dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran terutama endoskopi dan diketahuinya penyakit gastroduodenum yang disebabkan Helicobacter Pylori, maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Pada anak dibawah 4 tahun sebagian besar penyebabnya adalah organik, sedangkan pada anak besar kelainan fungsional saluran cerna merupakan penyebab terbanyak.

Pendekatan diagnosis nyeri perut berulang dimulai dari anamnesis yang diteliti dan lengkap, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dasar. Hanya kasus yang diduga disebabkan kelainan organik yang memerlukan pemeriksaan penunjang lanjutan.

Beberapa Konsep Sakit Perut Berulang

Konsep yang klasik adalah membagi sakit perut berulang ke dalam 2 golongan: organik dan psikogenik (fungsional dan psikosomatik). Biasanya harus dicari dulu penyebab organik, bila tidak ditemukan lalu dipikirkan kemungkinan penyebab psikogenik . Cara pendekatan seperti ini tentu akan banyak memakan waktu dan biaya.

Barr mengajukan konsep yang agak berbeda. Sakit perut berulang digolongkan atas 3 kelompok, yaitu: organik, disfungsional, dan psikogenik. Nyeri organik disebabkan oleh suatu penyakit, misalnya infeksi saluran kemih . Nyeri disfungsional disebabkan oleh berbagai variasi fisiologi normal dan dibagi dalam dua kategori, yaitu sindrom nyeri spesifik (yang mekanisme penyebab nyerinya diketahui, misalnya defisiensi laktase dan konstipasi) dan sindrom nyeri nonspesifik (mekanisme penyebab nyeri tidak jelas atau tidak diketahui). Nyeri psikogenik disebabkan oleh tekanan emosional atau psikososial tanpa adanya kelainan organik atau disfungsi.

Konsep ketiga diajukan oleh Levine an rappaport yang menekankan adanya penyebab multifaktor. Sakit perut berulang merupakan resultante dari empat faktor, yaitu: (1) Predisposisi somatik, disfungsi, atau penyakit; (2) Kebiasaan dan cara hidup; (3) Watak dan pola respons; dan (4) Lingkungan dan peristiwa pencetus.

Faktor-faktor tersebut berperan meningkatkan atau meredakan rasa sakit. Dengan demikian dapat diterangkan mengapa beberapa anak menderita konstipasi tanpa sakit perut berulang. Demikian pula halnya dengan kondisi psikososial yang buruk akan menimbulkan sakit perut berulang pada anak tertentu, tetapi tidak pada anak lain.

Gambar 1. Konsep yang menggambarkan peranan penyebab multifaktor pada sakit perut berulang.

undefined

Etiologi

Kelainan organik sebagai diagnosis banding penyebab sakit perut berulang telah banyak dilaporkan, tetapi hanya ditemukan pada 5-15,6% kasus. Pada garis besarnya kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang dapat dibagi menurut penyebab intra-abdominal dan extra-abdominal.

Penyebab intra-abdominal dapat diklasifikasikan lagi menurut penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal, dan lain-lain (Tabel 1). Pada tabel 2 dapat pula dilihat kelainan organik sebagai penyebab sakit perut.
Penyebab sakit perut berulang yang terbesar adalah faktor psikofisiologi.

Tabel 1. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang

EXTRA - ABDOMINALINTRA - ABDOMINAL
GASTROINTESTI
NAL
GINJALLAIN-LAIN
Keracunan Timbal
Porfiria
Epilepsi
Diabetes
Asma
Demam Rematik
"Sickle-cell anemia"
Hiperparathyroidism
Hipertrigliserid
Peritonitis
Tumor/Cysta
Medulla spinalis
Perinkotritis
Malrotasi
Duplikasi
Stenosis
Gastritis
Hiatus hernia
Hernia inguinalis
Volvulus
Intususepsi
Colitis ulseratif
Konstipasi kronik
Intoleransi laktosa
Askariasis
Ulkus peptikum
Penyakit Crohn
Apendisitis kronik
Hiperplasia limfoid-
noduler
Limfoma
Pielonefritis
Hidronefrosis
Batu ginjal
Obstruksi uretero
pelvik
Hepatomegali
Splenomegali
Kolesistitis
Kolelitiasis
Pankreatitis kronik
Kista ovarium
Endometriosis


Tabel 2. Penyebab organik sakit perut berulang

SALURAN
UROGENITAL
GASTRO-
INTESTINAL
HEMATOLOGILAIN-LAIN
Pielonefritis
Hidronefrosis
Batu ginjal
Infeksi di daerah pelvis
Dismenore
Cysta ovarium
Endometriosis
Kehamilan ektopik
Konstipasi
Coeliac
Intoleransi laktosa
Refluks gastroesofagal
H. pylori
Pankreatitis kronik
IBD
Malrotasi
Divertikulum Meckel
Kolelitiasis
Hepatitis
Ulkus peptikum
Leukemia
Limfoma
Thalasemia
Keracunan timbal
Porfiria
Diabetes melitus
Purpura Henoch-
Schonlein
Epilepsi perut
Migrain
Hiperlipidemia
Edema angioneurotik


Patofisiologi

Sakit perut akut atau berulang mempunyai 5 sumber, yaitu:
  1. Visera perut
  2. Organ lain di luar perut
  3. Lesi pada medula spinals
  4. Gangguan metabolik
  5. Psikosomatik
Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak bermielin yang berasal dari sistim saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai serabut saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih menyebar dan lebih lama dari rasa sakit yang dihantarkan dari kulit oleh serabut saraf A.

Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan serosa dari organ di abdomen. Serabut C ini akan bersamaan dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre dan paravertebra dan memasuki akar dorsa ganglia. Impuls aferen akan melewati medula spinalis pada traktus spinotalamikus lateralis menuju ke talamus, kemudian ke konteks serebri.

Impuls aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan habat ambang nyeri pada jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal, dan berbatas tak jelas serta sulit dilokalisasi. Impuls nyeri dan visera abdomen atas (lambung, duodenum, pankreas, hati, dan sistem empedu) mencapai medula spinalis pada segmen thorakalis 6,7,8 serta dirasakan didaerah epigastrium.

Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum Treitz sampai fleksura hepatika memasuki segmen Th 9 dan 10, dirasakan di sekitar umbilikus. Dari kolon distalis, ureter, kandung kemih, dan traktus genitalia perempuan, impuls nyeri mencapai segmen Th 11 dan 12 serta segmen lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada daerah supra publik dan kadang-kadang menjalar ke labium atau skrotum. Jika proses penyakit meluas ke peritorium maka impuls nyeri dihantarkan oleh serabut aferen stomatis ke radiks spinals segmentalis.

Penyebab metabolik seperti pada keracunan timah dan porfirin belum jelas patofisiologi dan patogenesisnya.

Patofisiologi sakit perut berulang yang fungsional (tidak berhubungan dengan kelainan organik) masih sulit dimengerti. Diperkirakan ada hubungan antara sakit perut berulang fungsional dengan penurunan ambang rangsang nyeri. Berbagai faktor psikologik dan fisiologik dapat berperan sebagai mediator sebagai mediator atau moderator dari sakit perut berulang fungsional. (Tabel 3).

Tabel 3. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional

PSIKOLOGIKFISIOLOGIK
Faktor stress

Depresi

Ikatan Keluarga

"Operant conditioning"

Somatisasi

Intoleransi

Dismotilitas usus

Konsitipasi

Ketidak stabilan otonom



Juga diketahui ada hubungan yang kuat antara sakit perut berulang fungsional dengan tipe kepribadian tertentu, yaitu sering cemas/gelisah, dan selalu ingin sempurna. Pada anggota keluarga lainnya juga sering ditemukan kelainan psikosomatik seperti migrain, kolon iritabel.

Hubungan antara sistim susunan saraf pusat dan saluran cerna yang sangat kompleks mungkin dapat membantu menjelaskan patofosiologi sakit perut berulang fungsional (gambar 2).

Gambar 2. Schematic diagram illustrating the processing of sensory information



Patogenesis

Mekanisme timbulnya sakit perut yang organik, ialah:
  1. Gangguan vaskuler. Emboli atau trombosis, ruptur, okulasi akibat torsi atau penekanan. Kejadian ini misalnya, terjadi pada putaran kista ovarium dan jepitan usus pada inavaginasi.


  2. Peradangan. Peradangan organ di dalam organ peritonium menimbulkan rasa sakit bila proses peradangan telah mengenal peritoneum parietalis. Mekanismenya sama seperti peradangan pada umumnya yang disalurkan melalui persyarafan somatik.


  3. Gangguan pasase. Gangguan pasase atau obtruksi organ yang berbentuk pembuluh, baik yang terdapat di dalam rongga peritoneal atau pun retroperitoneal. Bila pasase dalam saluran-saluran tersebut terganggu akan timbul rasa sakit akibat tekanan intra lumen yang meninggi di bagian proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang timbul atau terus menerus dengan punyak nyeri yang hebat (kolik).

  4. Penarikan, peregangan dan pembentangan peritoneum viseralis. Dalam prakteknya, keempat mekanisme timbulnya sakit perut jarang ditemukan sendiri-sendiri, tapi umumnya merupakan proses campuran.
Manifestasi Klinis

Tampak pada usia 5 - 14 tahun, dan lebih sering pada usia 5 -10 tahun. Pada anak berusia lebih dari 9 tahun sering ditemukan pada anak perempuan dari pada anak laki-laki dengan perbandingan 1.5 : 1. Sakit perut berulang variasinya cukup luas baik dalam hal frekuensi, waktu, intensitas, lokasi dan gejala yang mengikuti. Mual, keringat, dingin, muntah, pusing, pucat dan palpitasi sering menyertai sakit perut berulang. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik dapat dilihat pada tabel 4. Pada sakit perut berulang dengan gambaran klasik ini, etiologinya bukan kelainan organik.

Diketahui tiga tipe sakit perut berulang yaitu : kolik periumbilikus (paling sering) ‘peptic symptoms’s (hampir sama dengan dispepsia non ulser pada dewasa) dan nyeri perut bawah dengan gangguan buang air besar (ekivalen dengan sindrom kolon iritabel). Gejala klinis ini dapat menetap sampai dewasa pada 30 - 50% kasus. Sakit perut berulang merupakan salah satu manifestasi dini dari iiritable bowel syndrome (IBS).

Tabel 4. Gejala klinis sakit perut berulang klasik

Paroksismal

Daerah perlumbilikus atau suprapubis

Nyeri berlangsung kurang satu jam

Nyeri tidak menjalar, kram atau tajam, tak membangunkan anak malam hari

Nyeri tidak berhubungan dengan makanan, aktifitas, kebiasaan buang air besar

Mengganggu aktivitas

Di antara dua episode terdapat masa bebas gejala

Pemeriksaan fisik (N), kecuali kadang-kadang sakit perut di kiri bawah

Nilai laboratorium (N)



Pendekatan Diagnosis

Untuk membuat diagnosis diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap, pemeriksaan laboratorium penunjang.

Anamnesis

  1. Usia. Sakit perut berulang biasanya terjadi pada usia 5 - 14 tahun.


  2. Rasa sakit.
    1. Lokalisasi. Sakit yang disebabkan gangguan saluran pencernaan bagian atas biasanya dirasakan di daerah epigastrium. Gabgguab di ileum distal dan appendiks dirasakan di daerah perut kanan bawah. Rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi usus ataupun gangguan psikis lokalisasinya sukar ditentukan.
    2. Sifat dan faktor yang menambah / mengurangi rasa sakit. Sakit yang berasal dari spasme otot polos usus, traktus urinarius, traktus biliaris, biasanya berupa kolik yang sukar ditentukan lokalisasinya dengan tepat dan tidak dipengaruhi oleh adanya batuk atau penekanan abdomen. Sakit yang berasal dari iritasi peritoneum akan terasa menetap di tempat iritasi dan menghebat bila penderita batuk atau ditekan perutnya.
    3. Waktu timbul : berhubungan dengan makan atau tidak.
    4. Frekuensi
    5. Gejala yang mengiringi.
  3. Pola defekasi
  4. Pola kencing
  5. Siklus Haid
  6. Akibat sakit perut pada anak
    1. Terdapatkah kemunduran kesehatan pada anak tersebut?
    2. Bagaimana nafsu makan anak?
  7. Gejala / gangguan traktus respiratorius
  8. Gangguan muskuloskeletal
  9. Aspek psikososial
  10. Trauma. Trauma tumpul dapat menyebabkan hematoma subserosal ataupun pankreatitis
  11. Penyakit yang pernah diderita dalam keluarga. Adakah di antara keluarga yang menderita cystic fibrosis, pankreatisis, ulkus peptikum, kolon iritebl. Adakah faktor stress dalam keluarga.
Pada anamnesis yang teliti kita sudah dapat mengetahui apakah penyebab sakit perut berulang itu kelainan organik atau bukan (Tabel 5)

Tabel 5. Tanda peringatan sakit perut berulang yang disebabkan kelainan organik

  1. Nyeri terlokalisir, jauh dari garis tengah
  2. Nyeri menjalar (punggung, bahu, ektremitas bawah)
  3. Membangunkan anak pada malam hari
  4. Timbul tiba-tiba
  5. Muntah
  6. Gangguan motilitas (diare, obstripusi, inkontinensia)
  7. Pendarahan saluran cerna
  8. Dysuria
  9. Gangguan tumbuh kembang
  10. Gejala sistemik : panas, arthalgia, ruam kulit
  11. Riwayat keluarga : ulkus peptikum, H pylori, intoleransi laktosa, IBD
  12. Kesadaran sesudah episode
  13. Usia kurang dari 4 tahun atau lebih 15 tahun


Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik harus lengkap dan dilakukan di tempat yang tenang. Umumnya tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan fisik. Perlu dilakukan colok dubur. Dari hasil pemeriksaan fisik dapat mengetahui apakah penyebab sakit perut berulang tersebut kelainan organik atau bukan. Pada tabel 6 terlihat tanda peringatan pada pemeriksaan fisik sakit perut berulang yang disebabkan kelainan organik.

Tabel 6. Tanda peringatan sakit berulang pada pemeriksaan fisik

  1. Penurunan berat badan
  2. Organomegali
  3. Fistula perianal
  4. Fisura ani
  5. Ulkus perirektum
  6. Pembengkakan sendi


Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan:
  • Darah perifer lengkap
  • LED
  • Urinalistis
  • Biakan urine pada anak wanita
  • Test benzidin
  • Analisis tinja termasuk pemeriksaan parasit dan telur cacing
Pemeriksaan penunjang lainnya disesuaikan dengan kelainan yang didapat pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, seperti uji hidrogen nafas, USG abdomen, lipase dan amilase darah, test fungsi hati.

Terapi

Pengobatan diberikan sesuai etiologi. Pada sakit berulang fungsional pengobatan ditujukan kepada penderita dan keluarga bukan hanya mengobati gejala. Tujuan pengobatan ialah memberikan rasa aman serta edukasi kepada penderita dan keluarga sehingga kehidupan keluarga menjadi normal kembali dan dapat mengatasi rasa sakit sehingga efeknya terhadap keaktifan sehari-hari dapat seminimal mungkin (Tabel 7)

Kadang-kadang diperlukan pula konsultasi ke psikolog dan atau psikiater anak. pemeriksaan obat seperti antispasmodik, anticholinergik, antikonvulsan dan anti-depresan tidak bermanfaat.

Tabel 7. Ringkasan pengobatan sakit perut berulang fungsional

  1. Menyakinkan bahwa penyakitnya ringan
  2. Menerangkan masalah berdasarkan pada temuan positif maupun negatif
  3. Menemukan stress dan kecemasan yang mencetuskan rasa sakit
  4. Mengidentifikasi pengaruh keluarga / sosial yang mencetuskan sakit
  5. Menghindari gejala sakit yang berkepanjangan dan mengembalikan anak dalam kehidupan normal
  6. Tatalaksana penyebab yang didapat : kurangi laktosa, diet tinggi serat, dll
  7. Follow-up teratur untuk mengetahui perubahan gejala, meningkatkan rasa percaya diri dan mendorong keluarga serta anak untuk mengatasi masalahnya
  8. Hasil pengobatan jangan dipakai untuk membuat diagnosis


Sumber:
1. Aswitha D Boediarso Makalah ini disampaikan pada Simposium Nasional Badan Koordinasi
Gastroenterologi Anak Indonesia, Sabtu (20/5/2000), Gedung Sultan Suriansyah, Banjarmasin.

Rabu, 20 Januari 2010

JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS

II.1 Definisi

Arthritis rheumatoid Juvenile (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun. Berdasarkan definisi, ARJ ditandai oleh menetapnya temuan peradangan secara objektif di satu atau lebih sendi selama paling sedikit 6 minggu dengan eksklusi kausa lain peradangan sendi pada anak usia 16 tahun atau kurang.

Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan arthritis ini. Istilah ARJ lebih banyak dipakai di Amerika Serikat yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut arthritis pada anak usia dibawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan istilah rematoid karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau keluarga yang menderita arthritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif. Istilah arthritis kronik juvenile lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa). Adanya kerancuan dalam hal penggunaan istilah ini, maka timbul kesepakatan pada pertemuan EULAR untuk menggunakan istilah yang seragam. Istilah yang disepakati oleh EULAR adalah arthritis idiopatik juvenile (ARJ) yang dibagi dalam 7 subtipe.

II.2 Etiologi


Etiologi penyakit ini belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi.


II. 3 Epidemiologi


ARJ merupakan arthritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak, insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya. Dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi arthritis kronik, 20% dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar 1-2/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/tahun. ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5 tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ. Suku Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena di Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih dewasa, khususnya pada kelompok Oligo-artikular, dengan RF positif.

II.4 Klasifikasi


Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American Rheumatism Association (ARA) artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri lagi dari beberapa penyakit.

Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah direvisi tahun 1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan tahun 1995.
Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, arthritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan.
(1)Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartikular lainnya.
(2)Pausiartikular ditandai dengan arthritis yang mengenai ≤ 4,
(3) Poliartikular ditandai dengan nyeri sendi ≥ 5


II.5 Patofisiologi dan Patogenesis

ARJ merupakan penyakit autoimun multisystem, yang terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan klinis dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisinya belum banyak diketahui. ARJ merupakan penyakit arthritis kronis heterogen yang umumnya menyerang perempuan ditandai dengan arthritis kronik yaitu ditemukannya tanda keradangan pada sinovium. Tanda adanya respon imun yaitu ditemukannya autoantibody tersebut, antara lain antibody ANA, factor rematoid dan antibody heat shock protein. Peran HLA juga sangat besar dalam pathogenesis ARJ.
Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi oleh sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain: IL-2, IL-6, TNF-α, GM- CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran sel T untuk menimbulakan keradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif yang masih menjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel autoreaktif tak lepas dari peran HLA. Sitokin juga memegang peranan penting dalam proses pathogenesis ARJ. Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel T tipe 1 lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFN-γ dan TNF-β, sedangkan pad tipe dua sitokin yang dilepaskan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Secara klinis sitokin ini mempengaruhi keseimbangan respon selular dan humoral. Pada arthritis rematoid yang dewasa diketahui bahwa sel T tipe 1 yang lebih dominan, ternyata demikian juga yang ditemukan pada ARJ, kecuali pada pausiartikular, sel T tipe 2 yang dominan. Kemokin diduga juga ikut berperan dalam pathogenesis ARJ. Kemokin merupakan factor penentu migrasi subtype sel T. Beberapa reseptor kemokin bertanggungjawab terhadap klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang bertanggung jawab proliferasi sel T tipe 2, CXCR3 dan CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1, sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggung jawab terhadap kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah yang menimbulkan perbedaan pathogenesis. Dari penelitian Thompson dkk, melaporkan bahwa pada ARJ CCR4 sel T memegang peranan pathogenesis ARJ dan yang menentukan subtipenya. Dilaporkan bahwa aktivasi komplemen yang membentuk terminal attack complex yang terbanyak dijumpai pada sinovium pasien ARJ, kulit dan limpa. Aktivasi komplemen pada ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternative. Dari beberapa laporan pada ARJ aktivasi komplemen terbanyak melalui jalur alternative. Infeksi virus dan bakteri sebagai factor lingkungan yang berperanan dalam pathogenesis ARJ. Infeksi dikatakan dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T. Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60 dalam pengontrolan aktivasi sel T yang menimbulkan arthritis.

II.7 Gambaran Klinik


Adalah gejala klinis utama yang terlihat secara obyektif. Ditandai dengan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau paling sedikit 2 dari 3 gejala peradangan yaitu gerakan yang terbatas, nyeri jika digerakkan dan panas. Nyeri atau sakit biasanya tidak begitu menonjol. Pada anak kecil, yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan, terutama pada pagi (morning stiffness).9
Subtipe ARJ bergantung pada gejala sistemik penyakit dan jumlah sendi yang terkena pada 6 bulan pertama perjalanan penyakit. Anak dikatakan mengidap ARJ awitan – sistemik apabila awitan penyakit disertai oleh demam tinggi yang melonjak-lonjak (sedikitnya 40oC) sampai selama 2 minggu dan (biasanya) oleh ruam yang cepat menghilang pada puncak demam tanpa dipengaruhi jumlah sendi yang terkena selama 6 bulan pertama. Pada ARJ pausiartikular, mengenai kurang dari 5 sendi pada 6 bulan pertama, penyakit poliartikular melibatkan lima atau lebih sendi. Masing- masing subtype penyakit, walaupun hanya bersifat deskriptif, memperlihatkan perjalanan penyakit, penyulit, dan prognosis yang berlainan.

ARJ Sistemik (Penyakit Still)


Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur dibawah 4 tahun. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan ARJ; tetapi pasien biasanya menderita sakit berat sehingga dirujuk ke pusat perawatan tersier. Subtype ini mengenai kedua jenis kelamin sama banyak dan pada semua kelompok usia; pada orang dewasa penyakit ini disebut sebagai “penyakit Still awitan-dewasa”.Sementara sebagian anak memang memperlihatkan bukti objektif adanya arthritis pada saat awitan, pasien umumnya datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak disertai ruam-ruam yang cepat menghilang.
Pada umumnya anak-anak ini dirujuk setelah menderita demam yang tidak diketahui sebabnya selama beberapa minggu. Demam timbul setiap hari atau dua kali sehari, sering melonjak hingga 40 sampai 41oC pada sore hari; suhu sering menurun cepat sampai subnormal pada jam lain. Lonjakan demam sering disertai oleh ruam macular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama timbul dibadan dan sebelah dalam paha. Tiap-tiap macula tidak kembali muncul di tempat yang sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena koebner , yaitu kemampuan memicu timbulnya lesi dengan menggososk kulit secara lembut.1 Anak-anak ini sering kehilangan nafsu makan. Apabila anak cukup besar, mereka sering mengeluh artralgia dan/ mialgia yang parah (Rudolf) Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada ¾ kasus ditemukan limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit.Sendi yang sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari-jari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya menunjukkan leukositosis dengan jumlah leukosit diatas 20.000nm3, anemia non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar feritin yang tinggi. Jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan komplikasi KID. Gejala ini biasanya membaik setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke kronik arthritis dan 25% dengan gambaran erosi pada sendinya, komplikasi lainnya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.
Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul temuan sendi yang obyektif. Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan sementara mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Yang lain mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa, tetapi diantara serangan mereka mungkin terdapat massa normal. Informasi lain yang perlu diperhatikan pada arthritis tipe ini adalah, pemeriksaan darah dilakukan beberapa minggu dan bulan awal penyakit untuk menilai perkembangan anak. Pada beberapa anak gejala sistemik dari penyakit dan demam, dapat terlihat jelas setelah beberapa minggu hingga bulan diawal penyakit, meskipun gejala-gejala arthritis yang terkait sendi dapat dirasakan untuk waktu yang lebih lama. Onset ARJ sistemik dapat hilang dalam setahun pada beberapa anak yang terdiagnosis. Kekambuhan dapat terjadi tanpa peringatan sebelumnya, atau setelah infeksi virus (contoh, cacar). Kebanyakan anak dengan ARJ tipe sistemik dapat diobati dengan obat-obatan dalam sebulan hingga setahun, untuk mengontrol perkembangan dari keduanya baik arthritis maupun gejala-gejala sistemik seperti demam, ruam, anemia, dll. Uveitis atau peradangan mata, jarang terjadi pada ARJ tipe sistemik, sehingga mata mereka hanya perlu di periksa setahun sekali.

Oligoartritis / Pausi-artikuler


Bentuk penykit yang paling sering terjadi pada ARJ, Diartikan “sedikit sendi”, pauciarticular mengenai 4 sendi atau kurang. Sekitar 50% persen dari anak-anak dengan ARJ tergolong dalam tipe ini. , lebih sering mengenai satu sisi sendi dibandingkan kedua sisi sendi pada saat yang bersamaan, tetapi sering pada dua, tiga, sampai 4 sendi dalam 6 bulan berikutnya. Sering ditemukan mengenai sendi besar, paling banyak mengenai lutut, pergelangan kaki, siku. Jarang terjadi pada sendi-sendi kecil, jemari tangan, sendi ibu jari. Sebanyak 40 – 70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak perempuan dengan umur 1-3 tahun. Dan sering dengan komplikasi uveitis kronik., unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok arthritis psoriatic atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah lutut, pergelangan kaki, siku dan jari-jari tangan.Pada laki-laki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA B27 positif.7,2
Dikelompokkan dua yaitu persisiten dan eksten, persisiten ditandai dengan arthritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan. Sedangkan kelompok eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering kerusakan artikuler maupun periartikuler dan uveitis kronis.(ipd) Sejumlah kecil anak yang menderita penyakit ini (8%) akan mengalami bentuk poliartikular dengan prognosis serupa ARJ poliartikular.Namun sebagian lagi menunjukkan kinerja yang baik dalam kaitanyya dengan fungsi sendi.7 Dibagi juiga menjadi dua tipe , tipe pertama mengenai anak perempuan dengan umur dibawah 7 tahun. Beberapa anak dengan tipe ini juga disertai peradangan mata (iridocyclitis kronis atau uveitis kronis). Anak-anak ini harus di tes ANA (antinuclear antibody). Dari sini dapat diketahui, apakah anak tersebut memiliki resiko tinggi terkena uveitis. Hasil positif ANA mengindikasikan resiko tinggi terkena peradangan mata. Yang perlu diperhatikan, mata dalam kondisi tenang, artinya kerusakan mungkin tidak nampak pada anak.2 Tipe kedua dari pauciarticular biasa mengenai anak lelaki diatas 8 tahun. Sendi-sendi yang sering terkena pada tipe ini adalah: sendi sakroiliaka, lutut, pergelangan kaki, tendon. Anak-anak yang terdiagnosis dengan pauciarticular ARJ dan memiliki hasil positif ANA dan usianya dibawah 7 tahun, memiliki resiko besar untuk terkena uveitis kronis.Mata mereka harus diperiksa setiap 3 bulan,untuk beberapa tahun.

Poliartritis

Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan, gambaran artritisnya mirip arthritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang perempuan umur 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan, RF bisa positif maupun negatif. Pasien seronegatif cenderung berusia lebih muda dan lebih responsif terhadap pemberian terapi NSAID konvensional. Anak dengan ARJ poliartikular mungkin memperlihatkan beberapa gambaran sistemik, tetapi lebih ringan daripada yang tampak pada penyakit awitan sistemik.
Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia, uveitis sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan arthritis yang hanya pada beberapa sendidan baru beberapa bulan kemudian menjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi. Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang lebih muda ditandai dengan erosi sendi yang hebat, dengan manifestasi ekstraartikuler jarang., 25% didapatkan tes ANA positif,pada RF negative hanya terdapat 5%

II.7 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah:
(1) pemeriksaan darah lengkap,
(2) urin lengkap,
(3) faal hati,
(4) faal ginjal,
(5) tes ANA, dan
(6) faktor rematoid. Pada ARJ, didapatkan kadar CRP meningkat khususnya pada kelompok arthritis sistemik. Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED, C3, C4, amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit, Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih sempurna.Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai lekositosis yang didominasi netrofil.Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda reaktifasi penyakit.Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif.
Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebi tinggi.Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif , sering kali pada ARJ poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk. Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.

Pemeriksaan Radiologi


Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada kelompok poliartikular. Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Angkilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada ARJ walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang. Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas untuk ARJ sistemik, yaitu a) tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar, b) metafisis mengembang, dan c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. Pemeriksaan foto Rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto Rontgen biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu. Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovium dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit. Pemeriksaan MRI dan/atau ultrasonografi dapat digunakan dalam evaluasi suspek penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada atau tidaknya sinovitis, tenosinovitis, entesitis atau erosi tulang. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi sendi, bursa dan pembungkus tendon. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.

II.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada penyakit ARJ, diantaranya adalah:
(1) infeksi bakteri, virus, tuberkulosis,
(2) Post infeksi streptokokus,
(3) Trauma,
(4) Kelainan hematologi: Leukimia, hemophilia,
(5) Penyakit Kolagen,
(6) Demam rematik, yang membedakannnya dari ARJ ialah, pada demam rematik didapat kan gejala chorea, interval PR memanjang pada pemeriksaan EKG dan tes ASTO positif.


II.9 Diagnosis


Seperti telah dijelaskan maka diagnosis JRA dibuat semata-mata secara klinis. Walaupun beberapa pemeriksaan imunologik tertentu dapat menyokong harus tetap diingat bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk diagnosis ARJ.


Klinis

Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri ekstremitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan kearah ARJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis.9
Kriteria diagnosis artritis reumatoid juvenil menurut AMERICAN COLLEGE OF RHEUMATOLOGY (ACR):
(1)Usia penderita kurang dari 16 tahun,
(2) Artritis pada satu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau terdapat 2/lebih gejala : kekakuan sendi, nyeri/sakit pada pergerakan, suhu daerah sendi naik), (
(3) Lama sakit lebih dari 6 minggu,
(4) Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari :
(1) Poliartritis (5 sendi ata lebih),
(2)Oligoartritis (4 sendi atau lebih),
(3) Penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermiten,
(5) Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan, walaupun tidak ada yang patognomonik namun gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis


II.10 Penatalaksanaan

Pengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah mengendalikan gejala klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup. Garis besar pengobatan Meliputi :
(1) Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat; Keseimbangan aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga dan penderita; Keterlibatan sekolah dan lingkungan; (2). Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan Naproksen;
(3). Obat steroid intra-artikuler;
(4). Perawatan Rumah Sakit dan
(5). Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.
Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, dan bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri. Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi rasa nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Beberapa terapi yang dapat diberikan

Mengontrol Nyeri


Pengelolaan nyeri pada anak tidak mudah, masalahnya sangat kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) Obat anti-inflamasi nonsteroid digunakan pada sebagian besar anak dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Obat ini menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respons baik terhadap pengobatan AINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.
Efek samping yang sering dijumpai antara lain anoreksi, nyeri perut, gangguan fungsi hati, ginjal dan gastrointestinal. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali.
Macam OAINS yang sering digunakan (1) Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan AINS karena adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan transaminasemia. Dengan adanya AINS yang menghambat siklus siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan AINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang.
(1) Aspirin 75-90 mg/Kg/hari. Dosis yang diberikan dapat lebih tinggi pada anak yang lebih dewasa.
(2) Tolmetin 25 mg/Kg/hari dibagi dalam 4 dosis,
(3) Naproksen 15 mg/Kg/ hari dibagi dalam 2 dosis, bersama makanan. Dapat timbul efek samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan parut.
(4) Ibuprofen 35 mg/Kg/ hari dibagi 4 dosis,
(5) Diklofenak 2-3 mg/Kg/hari terbagi dalam 2 dosis.


DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs)


Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut:

(1) Hidroksiklorokuin: 4-6 mg/Kg/hari, maksimal 300 mg/hari. Mermpunyai imunomodilator dan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi retina setiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna, dan supresi sum-sum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15 – 75%,

(2) Preparat emas oral maupun intramuscular dosis 5mg/minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75 – 1mg/Kg/minggu. Efek sampingnya adalah supresi sum-sum tulang dan ginjal,

(3) Obat-obat sitotoksik: Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50mg/Kg/hari sampai. Tidak dianjurkan untuk anak yang sensitive sulfasalazin, Metotreksat (MTX): Dosis 10 mg/m2luas permukaan tubuh/ minggu. MTX aman digunakan jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh rematologis oleh karena efek sampingnya lebih ringan dan respon yang sangat tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitu oral ulcer, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat tinggi, hal ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alcohol dan mengurangi obat-obatan hepatotoksik.

(4) Glukokortikoid, baik untuk mengontrol gejala sistemik arthritis, perikarditis, dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2mg/kg/hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra- artikular bermanfaat untuk arthritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan peroral dengan dosis 30 mg/Kg/hari selama 3 hari berturut-turut, pada kasus tertentu membutuhkan imunosupresan, efek samping kortikosteroid, infeksi varisela.


Biologic Response Modifiers


Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen biologik yang berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor(TNF), sehingga akan menghambat pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Etanercept akan terikat pada komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak memberikan respon dengan terapi konvensional ataupun imunosupresan. Sebelum diberikan terapi, data dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji tuberkulin kulit dengan PPD (purified protein derivative) menunjukkan hasil negatif. Dosis yang digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam seminggu, minimal dengan jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya, baik AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas diberikan dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu untuk dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.
Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset poliartritis dan sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada sebuah studi, penggunaan IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak manfaat dibanding plasebo, sedangkan pada poliartritis, dapat diberikan dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB, 2x/bulan dalam 2 bulan pertama kemudian 1x/bulan untuk 6 bulan selanjutnya (dosis maksimum 100 gr). Beberapa studi juga melaporkan siklosporin untuk mengatasi artritis kronik dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis, terpisah dalam 12 jam.

Fisioterapi


Banyak manfaat yang dapat diberikan oleh fisioterapi, antara lain: mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi dan TENS. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.


Pengelolaan nutrisi


Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan . Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain penurunan nafsu makan adalah adanya keradangan pada temporo mandibula. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D 400IU dan kalsium 400mg sedangkan kalsium 800mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.


II. Komplikasi


komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metakarpal, dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau fraktur. Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi, tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.
Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai komplikasi berupa anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis mempunyai komplikasi uveitis yang sering asimtomatik. Komplikasi lainnya yang cukup penting adalah masalah psikologi anak akibat penyakit ini, seperti depresi, ansietas dan masalah di sekolah. Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis sekunder dapat terjadi walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal. Uveitis merupakan penyakit peradangan pada mata,merupakan keadaan serius dari ocular yang secara spesifik mengenai satu atau lebih dari tiga bagian yang membentuk uvea. Iris, badan siliar, choroid,. Keadaan ini diperkirakan 10-15% menjadi penyebab dari kebutaan di Negara berkembang. Dapat mengenai kedua mata, dapat berhubungan dengan ifeksi atau penyakit sisitemik, uveitis adalah penyakit yang bisa ditangani, meskipun apabila kejadiannya meninggalkan sisa, atau episode pengulangan dari peradangan, ini dapat mengenai jaringan dan kebutaan.

II.12 Prognosis


Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe sistremik arthritis dengan demam tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi, dan trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25% tipe poliartikular remisi dalam 5 tahun dan 2/3 pasien ARJ mengalami erosi sendi.
Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk:
(1) tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama,
(2) Poliartritis,
(3) Perempuan,
(4) Faktor rheumatoid positif,
(5) Kaku sendi yang persisten,
(6) Tenosinovitis,
(7) Nodul Subkutan,
(8) Tes ANA +,
(9) Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit,
(10) erosi yang progresif,
(11) Pausiartikuler tipe eksten


DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham, Rudolph. 2006. Buku Ajar Ilmu Pediatri Rudolph.Jakarta: EGC
2. Arthritis Foundation, 2007. Pauciarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions
/diseasecenter/pauciarticularJRA.asp

3. Arthritis Foundation, 2007. Polyarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions
/diseasecenter/polyarticularJRA.asp

4. Arthritis Foundation, 2007. Systemic JRA, available at: http://ww2.arthritis.org/conditions
/diseasecenter/systemiconsetJRA.asp

5. Baratawijaya, Karnen. 2005. Imunologi Dasar. Jakarta: Gaya Baru

6. Criteria for the classification arthritis rheumatoid, 2009, available at:
www. American College of
Rheumatology.com

7. Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

8. Tim Perumus Format Standar Pelayanan Medik IDAI. 2003. Standar Pelayanan Medik Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI

9. Judarwanto, Widodo. 2008. Artritis Pada Anak, available at: www. children’s IMMUNOLOGY
CLINIC. Com

10. Juvenile arthritis, 2007, available at:
www. American Academy of Orthopaedics Surgeons.com 11. Juvenile Idiophatic Arthritis, 2009. Available at: http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/294/13
/1722.pdf
12. http://rachman-soleman.blogspot.com