Selasa, 19 April 2011

TANDA DAN GEJALA PENYAKIT HIRSCHSPRUNG PADA ANAK

Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada usus besar yang terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Sehingga menyebabkan terakumulasinya feses dan dilatasi kolon yang masif.

Penyebab

Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna bisa berjalan di sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit Hirschsprung, ganglion ini tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit Hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki. Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan bawaan lainnya, misalnya sindroma Down.

Gejala dan tanda

Pada bayi yang baru lahir:

* segera setelah lahir, bayi tidak dapat mengeluarkan mekonium (tinja pertama pada bayi baru lahir)
* tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
* perut menggembung
* muntah
* diare encer (pada bayi baru lahir)
* berat badan tidak bertambah, mungkin terjadi retardasi pertumbuhan
* malabsorbsi.

Pada anak:

* Failure to thrive (gagal tumbuh)
* Nafsu makan tidak ada (anoreksia)
* Rektum yang kosong melalui perbaan jari tangan
* Kolon yang teraba
* Hipoalbuminemia

Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian hari. Pada anak yang lebih besar, gejalanya adalah sembelit menahun, perut menggembung dan gangguan pertumbuhan.

Pengobatan

Pengobatan dengan diberikan obat-obat yang bersifat simptomatis atau definitif. Pada keadaan gawat darurat, mungkin juga diperlukan koreksi cairan dan keseimbangan elektrolit. Untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan kolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak berusia 6 bulan atau lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis, diberikan antibiotik

Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan colok dubur (memasukkan jari tangan ke dalam anus) menunjukkan adanya pengenduran pada otot rektum.

Pemeriksaan penunjang

* Pemeriksaan elektrolit, albumin, urinalisis dan fungsi tiroid.
* Rontgen perut (menunjukkan pelebaran usus besar yang terisi oleh gas dan tinja)
* Barium enema
* Manometri anus (pengukuran tekanan sfingter anus dengan cara mengembangkan balon di dalam rektum)
* Biopsi rektum (menunjukkan tidak adanya ganglion sel-sel saraf).

Minggu, 09 Januari 2011

ALERGI MAKANAN, KOL;IK DAN NYERI PERUT PADA ANAK

PENDAHULUAN

· Gangguan saluran cerna berulang seperti muntah, diare, nyeri perut, sulit BAB merupakan gejala penyakit yang sering dikeluhkan pada penderita anak yang melakukan rawat jalan. Gangguan fungsi saluran cerna berupa kolik dan nyeri perut meskipun tidak berbahaya tetapi merupakan gangguan yang sangat mengganggu. Gangguan fungsional tersebut biasanya bersifat jangka panjang akan hilang timbul munculnya kadang sulit dideteksi penyebabnya. Hingga saat ini ganggguan tersebut belum banyak terungkap jelas penyebabnya. Sehingga banyak kontroversi timbul dalam menyikapi gangguan ini. Banyak ahli berpendapat bahwa gangguan ini diduga penyebabnya adalah imaturitas (ketidakmatangan) saluran cerna, sehingga dengan pertambahan usia gangguan tersebut akan berkurang.

· Banyak penelitian menunjukkan penyakit alergi tampaknya berperanan paling utama sebagai penyebab dalam kasus tersebut. Alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita tanpa terkecuali, terutama saluran cerna. Gangguan organ tubuh seperti saluran cerna sering kurang perhatian sebagai target organ reaksi yang ditimbulkan dari alergi makanan. Selama ini yang dianggap sebagai target organ adalah kulit, asma dan hidung.

· Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistim tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Fungsi organ tubuh yang sering terlibat dalam proses terjadinya alergi makanan adalah saluran cerna. Gejala gangguan saluran cerna yang berkaitan dengan alergi makanan adalah muntah, diare, konstipasi, kolik, nyeri perut, sariawan dan sebagainya.

ALERGI MAKANAN DAN IMATURITAS SALURAN CERNA

· Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka kejadian alergi terus meningkat tajam beberapa tahun terahkir. Tampaknya alergi merupakan kasus yang cukup mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan Pelayanan Kesehatan Anak. Menurut survey rumah tangga dari beberapa negara menunjukkan penyakit alergi adalah adalah satu dari tiga penyebab yang paling sering kenapa pasien berobat ke dokter keluarga. Penyakit pernapasan dijumpai sekitar 25% dari semua kunjungan ke dokter umum dan sekitar 80% diantaranya menunjukkan gangguan berulang yang menjurus pada kelainan alergi. BBC beberapa waktu yang lalu melaporkan penderita alergi di Eropa ada kecenderungan meningkat pesat. Angka kejadian alergi meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Setiap saat 30% orang berkembang menjadi alergi. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai astma, 6 juta orang mempunyai dermatitis (alergi kulit). Penderita Hay Fever lebih dari 9 juta orang

· Alergi pada anak dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terakhir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala Autis.

· Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergi ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan rusaknya bahan penyebab alergi (denaturasi allergen). Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal allergen (penyebab alergi) masuk ke dalam tubuh. Pada usia anak saluran cerna masih imatur (belum matang). Sehingga sistim pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh. Gangguan saluran cerna yang berkaitan dengan alergi makanan tersebut sering diistilahkan sebagai gastroenteropati atopi.

· Saluran cerna adalah target awal dan utama pada proses terjadinya alergi makanan. Karena penyebab utama adalah imaturitas (keitidak matangan) saluran cerna maka gangguan pencernaan yang disebabkan karena alergi paling sering ditemukan pada anak usia di bawah 2 tahun, yang paling sensitif di bawah 3 bulan. Dengan pertambahan usia secara bertahap imaturitas saluran cerna akan semakin membaik hingga pada usia 5 atau 7 tahun. Hal inilah yang menjelaskan kenapa alergi makanan akan berkurang dengan pertambahan usia terutama di atas 5 atau 7 tahun.

MANIFESTASI KLINIS KOLIK DAN NYERI PERUT

· Gangguan kolik atau nyeru perut bisa timbul dalam derajat ringan sampai berat. Pada keadaan ringan biasanya ditandai bayi sering rewel, sering minta minum padahal bayi tidak haus. Pada keadaan ini bila dipaksa minum bisa timbul muntah karena perut sudah penuh. Pada keadaan berat biasanya ditandai seperti kesakitan, menjerit atau menangis terus menerus tanpa sebab selama lebih 30 menit. Gangguan ini biasanya lebih sering terjadi pada malam. Gangguan inilah yang mengakibatkan bayi sering tidak bisa tidur malam hari dan siang hari jam tidurnya sangat panjang. Gangguan kolik diduga karena perut bayi mengalami nyeri dan sakit. Penelitian yang dilakukan penulis, bayi yang mempunyai gejala kolik saat usia 2 hingga 7 tahun beresiko terjadi keluhan sakit perut yang berulang. Pada penderita kolik beresiko terjadi gangguan nyeri perut saat timbul demam.

· Pada anak yang lebih besar dapat berupa nyeri perut berulang. Kadang nyeri perut ini seperti rasa buang air besar tetapi saat di kloset anak tidak jadi buang air besar. Pada anak yang belum bisa bicara atau mengungkapkan keluhan biasanya ditandai dengan sering memegang perut. Nyeri biasanya bersifat hilang timbul dan berlangsung sebentar. Seringkali keluhan ini dianggap anak pura-pura sakit karena keluhan berlangsung sebentar dan hilang timbul. Gangguan ini juga ditandai dengan posisi tidur ”nungging” saat malam atau pagi hari. Posisi tersebut adalah posisi alamiah anak untuk mengatasi rasa tidak nyaman di perutnya.

GANGGUAN SALURAN CERNA LAIN YANG MENYERTAI

· Pada bayi baru lahir hingga terutama hingga usia 3 bulan biasanya ditandai hiccups (cegukan), sering “ngeden”, meteorismus (kembung), muntah, sering flatus (buang angin), diare, sulit BAB (Buang Air Besar) atau kolik. Gejala ringan biasanya ditandai bayi sering hiccups atau cegukan yang sering dan agak lama. Gejala ini disertai oleh gerakan seperti mengejan (”ngeden”) pada perut. Biasanya anak tampak sering ”mulet” dengan gerakan tangan sering bergerak lurus ke atas dengan disertai bunyi seperti mengejan di mulut dan perut mengeras. Kadang juga disertai keluhan ”ngeden” bila sedang buang air kecil. Bila buang air besar tampak sulit (ngeden) padahal bentuk feses lembek atau bahkan cair.

· Dalam buang air besarpun sering terjadi gangguan, biasanya sulit BAB atau malahan diare. Dikatakan sulit BAB, selain ”ngeden” biasanya bayi tidak bisa BAB setiap hari. Sebaliknya bisa juga terjadi BAB yang sering, pada bayi usia kurang 1 bulan frekuensinya lebih 4 kali perhari atau usia di atas 1 bulan lebih dari 2 kali perhari. Bentuk feses biasanya cair atau bahkan keras, berwarna hijau atau gelap dan berbau tajam. Pada anak yang lebih besar tampilan kotoran feses yang terjadi adalah bulat-bulat seperti kotoran kambing.

· Keluhan lain gangguan saluran cerna yang sering terjadi adalah muntah. Keluhan ini paling berat terjadi saat usia di bawah 3 bulan. Pada bayi tampak sering ”gumoh” atau susu yang diminum meleleh ke luar mulut. Dalam keadaan yang lebih berat timbul keluhan muntah seperti gerakan menyemprot air dari dalam mulut kadang keluar lewat hidung. Secara bertahap seiring dengan kematangan saluran cerna maka gangguan ini juga secara bertahap akan berkurang. Pada anak yang lebih besar gangguan muntah hanya timbul saat melakukan aktifitas seperti berlari, menangis, naik kendaraan atau makan yang terlalu banyak gejala muntah tersebut akan timbul. Penderita inilah yang sering dianggap sebagai orang yang gampang ”mabuk kendaraan”. Gejala lain yang lebih ringan biasanya gejala mual, biasanya timbul saat minum susu atau makan.

· Pada lidah sering ditemukan berwarna putih kotor, perubahan itu terjadi karena lidah merupakan bagian dari dari saluran cerna. Bila lidah berubah warna harus diwaspadai sebagai tanda gangguan pada pencernaan. Gangguan buang air besar dapat berupa sulit buang air besar (tidak setiap hari) atau malahan sering buang air besar sebanyak 3 kali atau lebih pada usia di atas 2 minggu .

· Pada anak yang lebih besar dapat beerupa sering muntah, buang air besar (>2 kali perhari), gangguan buang air besar (kotoran keras, berak, tidak setiap hari, berak di celana, berak berwarna hitam atau hijau, berak ngeden), kembung, sulit berak, sering flatus (buang angin), sariawan, mulut berbau dan lidah sering kotor berbentuk pulau atau sariawan (geographic tongue).

GANGGUAN LAIN YANG MENYERTAI

· Gangguan pada saluran cerna biasanya sering disertai oleh gangguan kulit (dermatitis atopi) dan gangguan pada hidung. Tanda dan gejala alergi pada kulit biasanya sudah dapat di deteksi sejak lahir. Bayi yang baru lahir apabila sejak dalam kandungan sudah terpapar oleh pencetus alergi tampak terdapat bintil dan bercak kemerahan dan kusam pada kulit dahi dan wajah, kadang disertai timbulnya beberapa bintil kecil warna putih di hidung. Pada bayi sering timbul dermatitis atopi di pipi, daerah popok (dermatitis diapers) dan telinga, kadang dijumpai dermatitis seboroikum atau timbul kerak di kulit kepala. Sering juga timbul bintik kemerahan di sekitar mulut. Kadang timbul furunkel (bisul) di kepala dan badan. Mata dan telinga sering gatal dan digosok-gosok. Karena sering timbul gangguan kulit di sekitar leher dan kepala, seringkali disertai pembesaran kelenjar kepala bagian belakang dekat telinga.

· Pada anak yang lebih besar sering urticaria (gatal), miliaria (biang keringat), bengkak di bibir, vaskulitis atau pembuluh darah yang pecah) dengan gambaran lebam biru kehitaman seperti bekas terbentur, bercak ke hitam seperti bekas digigit nyamuk.

  • Perbedaan lokasi alergi kulit sesuai dengan usia tertentu. Pada bayi sering lokasi alergi sekitar wajah dan daerah popok, pada usia anak lokasi tersebut biasanya berpindah pada darerah lengan dan tungkai. Sedangkan pada anak yang lebih besar atau usia dewasa lokasi alergi kulit biasanya pada pelipatan dalam antara lengan atas dan bawah atau pelipatan dalam antara tungkai atas dan bawah.

· Pada anak di bawah 2 tahun, tanda yang paling sensitif untuk mengetahui bahwa gangguan fungsi saluran cerna itu terjadi adalah adanya gangguan tidur malam. Gangguan tidur malam berupa tidur gelisah, sulit memulai tidur sehingga sampai larut malam, sering menangis, mengigau dan berteriak dalam tidur. Tidur sering bolak balik dari ujung ke ujung. Seringkali gangguan ini dianggap karena anak haus atau ingin minta minum. Memang pada gangguan itu hanya bersifat tidak lama, setelah diberi minum anak tidur lagi. Tetapi sebenarnya tanpa diberi minumpun bila anak ditepuk tepuk atau dibelai sebentar juga akan tidur lagi. Hal ini yang membuktikan bahwa keluhan itu bukan karena haus atau minta minum.

  • Mulut adalah termasuk salah satu bagian dari sistem saluran cerna. Bila saluran cerna terganggu karena alergi makanan biasanya tampak juga gangguan pada organ tubuh di daerah mulut di antaranya lidah, gigi dan bagian di rongga mulut lainnya.
  • Pada bayi lidah sering tampak kotor berwarna putih (like moniliasis symptoms) , gejala ini mirip gangguan jamur pada lidah atau moniliasis sejenis jamur pada mulut. Bedanya pada alergi warna putih hanya tipis dan tidak terlalu tebal, namun pada moniliasis tampak lebih tebal. Bila gangguan tersebut karena jamur biasanya dengan obat tetes mulut jamur akan cepat membaik, namun bila karena alergi biasanya diberi obat jamur tetap tidak akan membaik dan tetap sering timbul. Bila karena alergi sebaiknya tidak perlu diberi obat jamur, namun cukup dibersihkan dengan kasa basah.
  • Pada anak yang lebih besar gangguan alergi bisa menimbulkan sariawan atau luka (aphtous ulcer) pada lidah dan mulut yang sering berulang. Biasanya juga disertai lidah kotor mirip gambaran pulau-pulau atau geographic tounge).
  • Gangguan lain adalah timbulnya nyeri gigi atau gusi yang bukan di sebabkan karena infeksi atau gigi berlubang. Gangguan ini biasanya sering dianggap sebagai impacted tooth (gigi yang tumbuhnya miring).

DIPICU ADANYA INFEKSI

· Gangguan fungsional saluran cerna berupa kolik atau nyeri perut pada bayi dan anak terebut akan berlangsung lama dan keluhan berlangsung hilang timbul. Selain karena alergi makanan gangguan tersebut dapat juga diperberat atau dipicu karena adanya infeksi. Infeksi pada anak bisa berupa demam, batuk, pilek, infeksi saluran kencing atau infeksi lainnya. Gangguan ini sering dianggap karena pengaruh obat yang diminum saat sakit. Padahal mungkin tanpa minum obatpun gangguan tersebut akan juga tetap timbul. Saat terjadi infeksi tersebut gangguan kolik atau nyeri perut juga akan bertambah berat tetapi hanya bersifat sementara, begitu infeksi membaik maka keluhan kolik atau nyeri perut juga akan membaik.

· Pada keadaan inilah biasanya kolik atau nyeri perut berlangsung hebat. Sehingga kadangkala gangguan fungsional ini sulit dibedakan dengan kelainan radang usus buntu. Bila tidak cermat kadangkala sering terjadi ”overdiagnosis” dan ”overtreatment” gangguan usus buntu artinya belum tentu mengalami usus buntu tetapi didiagnosis dan dioperasi sebagai usus buntu. Sehingga pada penderita dengan riwayat kolik dan sering nyeri perut apabila divonis usus buntu bila diagnosis belum jelas sebaiknya melakukan pendapat kedua atau ”second opinion” segera ke dokter lainnya.

KOMPLIKASI

  • Bila terjadi gangguan saluran cerna, komplikasi yang sering terjAdi adalah mudah sakit (infeksi berulang) kesulitan mkanan, dan gangguan otak dan perilaku anak.
  • Infeksi berulang pada anak adalah infeksi yang sering dialami oleh seorang anak khususnya infeksi saluran napas akut. Kondisi ini diakibatkan karena rendahnya kerentanan seseorang terhadap terhadap terkenanya infeksi. Biasanya infeksi berulang ini dialami berbeda dalam kekerapan kekambuhan, berat ringan gejala, jenis penyakit yang timbul dan komplikasi yang diakibatkan. Gangguan ini sering terjadi pada penderita alergi dan pada penderita defisiensi imun, meskipun kasus yang terakhir tersebut relatif jarang terjadi.
  • Alergi pada anak dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Terakhir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat mengganggu perkembangan anak Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Gangguan fungsi otak itulah maka timbul ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala Autis dan ADHD.
  • Gangguan pencernaan inilah yang bisa mengakibatkan rangsangan atau gangguan ke otak meningkat. Gangguan ke otak itu sendiri banyak menimbulkan keluhan perkembangan dan perilaku pada anak. Sehingga sekecil apapun gangguan pencernaan tersebut timbul berulang maka harus diwaspadai lebih dini. Hal itu akan diungkap selanjutnya lebih jelas.
  • Hal tersebut dapat dilihat pada tampilan klinis bayi atau anak. Saat terjadi serangan kolik dan nyeri perut maka tampak aktifitas, agresifitas dan emosionalitas bayi dan anak tampak meningkat. Hal ini dapat dilihat pada bayi timbul manifestasi bila minum tidak sabaran dan selalu menangis keras. Tampak agresifitas bayi meningkat sehingga berperilaku menggigit puting ibu sehingga sering lecet. Bayi juga akan tampak lebih aktif hal ini ditandai dengan gerakan tangan dan kaki pada bayi sangat banyak. Gejala tersebut seringkali disertai peningkatan ”head banging”, ditandai dengan kepala bayi sering mendongak atau menekuk ke atas dan mata sering melirik ke atas. Pada anak yang lebih besar ditandai dengan emosi meningkat, keras kepala, negatifisme meningkat. Aktifitas anak lebih meningkat, tidak bisa diam bergerak terus, memanjat melompat dan berlari tidak tentu arah. Begitu juga agresifitas anak meningkat ditandai dengan anak sering menggigit, memukul atau melempar barang.

DIAGNOSIS ALERGI MAKANAN DAN NYERI PERUT ATAU KOLIK

· Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan provokasi.

· Untuk memastikan makanan penyebab kolik dan nyeri perut tersebut harus menggunakan Provokasi makanan secara buta (Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Cara DBPCFC tersebut sangat rumit dan membutuhkan waktu, tidak praktis dan biaya yang tidak sedikit. Beberapa pusat layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap cara itu. Children Allergy Center Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan cara yang lebih sederhana, murah dan cukup efektif. Modifikasi DBPCFC tersebut dengan melakukan “Eliminasi Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”. Bila setelah melakukan eliminasi beberapa penyebab alergi makanan selama 3 minggu didapatkan perbaikan dalam gangguan nyeri perut dan kolik tersebut, maka dapat dipastikan penyebabnya adalah alergi makanan. Ternyata saat gangguan nyeri perut atau kolik berkurang juga disertai gejala agresifitas, aktifitas dan emosionalitas juga berkurang.

· Tes kulit alergi yang banyak dilakukan para ahli alergi untuk mencari penyebab alergi memang cukup sensitif, tetapi ternyata spesifitasnya tidak tinggi. Sehingga sering terjadi ”false negatif” artinya hasil negatif belum tentu bukan penyebab alergi. Banyak reaksi simpang makanan karena alergi sering terjadi reaksi lambat. Pada tes kulit memang cukup sensitif pada reaksi alergi tipe cepat, tetapi reaksi tipe lambat sulit terdeteksi.

· Sedangkan tes alergi lainnya masih sangat kontroversi dan belum terbukti secara klinis, sehingga tidak dianjurkan sebagai alat diagnosis. Tetapi ternyata pemeriksaan alergi tersebut masih banyak digunakan oleh beberapa klinisi dan praktisi medis lainnya. Pemeriksaan tersebut diantaranya adalah Applied Kinesiology, VEGA Testing (Electrodermal Test), Hair Analysis Testing in Allergy, Auriculo-cardiac reflex, Provocation-Neutralisation Tests, Nampudripad’s Allergy Elimination Technique (NAET), Beware of anecdotal and unsubstantiated allergy tests.

PENANGANAN

· Bila nyeri perut dan kolik disertai manifestasi alergi lainnya sangat mungkin alergi makanan berperanan sebagai penyebabnya

· Penanganan terbaik pada penderita alergi makanan dengan gangguan saluran cerna khususnya kolik dan nyeri perut adalah adalah dengan menghindari makanan penyebabnya. Pemberian obat anti alergi dan obat untuk saluran cerna p[enghilang rasa sakit dalam jangka panjang adalah bukti kegagalan dalam mengidentifikasi makanan penyebab alergi.

· Mengenali secara cermat gejala alergi dan mengidentifikasi secara tepat penyebabnya, maka gejala alergi dan gangguan perilaku yang menyertai dapat dihindari. Deteksi gejala alergi dan gangguan tidur pada anak harus dilakukan sejak dini. Sehingga pengaruh alergi makanan terhadap gangguan tidur atau gangguan perilaku lainnya dapat dicegah atau diminimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sampson HA, Anderson JA. Summary and recommendations: classification of gastrointestinal manifestations due to immunologic reactions to foods in infants and young children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2000; 30 :S87 –S94

2. Sampson HA, Sicherer SH, Birnbaum AH. AGA technical review on the evaluation of food allergy in gastrointestinal disorders. Gastroenterology.2001; 120 :1026 –1040.

3. Lake AM, Whitington PF, Hamilton SR. Dietary protein-induced colitis in breast-fed infants. J Pediatr.1982; 101 :906 –910.

4. Machida H, Smith A, Gall D, Trevenen C, Scott RB. Allergic colitis in infancy: clinical and pathologic aspects. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1994; 19 :22 –26

5. Odze RD, Bines J, Leichtner AM, Goldman H, Antonioli DA. Allergic proctocolitis in infants: a prospective clinicopathologic biopsy study. Hum Pathol.1993; 24 :668 –674

6. Wilson NW, Self TW, Hamburger RN. Severe cow’s milk induced colitis in an exclusively breast-fed neonate. Case report and clinical review of cow’s milk allergy. Clin Pediatr (Phila).1990; 29 :77 –80

7. Pumberger W, Pomberger G, Geissler W. Proctocolitis in breast fed infants: a contribution to differential diagnosis of haematochezia in early childhood. Postgrad Med J.2001; 77 :252 –254

8. Anveden HL, Finkel Y, Sandstedt B, Karpe B. Proctocolitis in exclusively breast-fed infants. Eur J Pediatr.1996; 155 :464 –467

9. Pittschieler K. Cow’s milk protein-induced colitis in the breast-fed infant. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1990; 10 :548 –549

10. Vanderhoof JA, Murray ND, Kaufman SS, et al. Intolerance to protein hydrolysate infant formulas: an underrecognized cause of gastrointestinal symptoms in infants. J Pediatr.1997; 131 :741 –744

11. Winter HS, Antonioli DA, Fukagawa N, Marcial M, Goldman H. Allergy-related proctocolitis in infants: diagnostic usefulness of rectal biopsy. Mod Pathol.1990; 3 :5 –10

12. Goldman H, Proujansky R. Allergic proctitis and gastroenteritis in children. Clinical and mucosal biopsy features in 53 cases. Am J Surg Pathol.1986; 10 :75 –86

13. Wyllie R. Cow’s milk protein allergy and hypoallergenic formulas. Clin Pediatr (Phila).1996; 35 :497 –500

14. Kuitunen P, Visakorpi J, Savilahti E, Pelkonen P. Malabsorption syndrome with cow’s milk intolerance: clinical findings and course in 54 cases. Arch Dis Child.1975; 50 :351 –356

15. Iyngkaran N, Yadav M, Boey C, Lam K. Severity and extent of upper small bowel mucosal damage in cow’s milk protein-sensitive enteropathy. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1988; 8 :667 –674

16. Walker-Smith JA. Cow milk-sensitive enteropathy: predisposing factors and treatment. J Pediatr.1992; 121 :S111 –S115

17. Iyngkaran N, Robinson MJ, Prathap K, Sumithran E, Yadav M. Cows’ milk protein-sensitive enteropathy. Combined clinical and histological criteria for diagnosis. Arch Dis Child.1978; 53 :20 –26

18. Yssing M, Jensen H, Jarnum S. Dietary treatment of protein-losing enteropathy. Acta Paediatr Scand.1967; 56 :173 –181

19. Hauer AC, Breese EJ, Walker-Smith JA, MacDonald TT. The frequency of cells secreting interferon-gamma and interleukin-4,–5, and -10 in the blood and duodenal mucosa of children with cow’s milk hypersensitivity. Pediatr Res.1997; 42 :629 –638

20. Kokkonen J, Haapalahti M, Laurila K, Karttunen TJ, Maki M. Cow’s milk protein-sensitive enteropathy at school age. J Pediatr.2001; 139 :797 –803

21. Powell GK. Milk- and soy-induced enterocolitis of infancy. J Pediatr.1978; 93 :553 –560

22. Powell G. Food protein-induced enterocolitis of infancy: differential diagnosis and management. Compr Ther.1986; 12 :28 –37

23. Sicherer SH, Eigenmann PA, Sampson HA. Clinical features of food protein-induced enterocolitis syndrome. J Pediatr.1998; 133 :214 –219

24. Vandenplas Y, Edelman R, Sacre L. Chicken-induced anaphylactoid reaction and colitis. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1994; 19 :240 –241

25. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA, Wood RA, Sicherer SH. Food protein-induced enterocolitis syndrome caused by solid food proteins. Pediatrics.2003; 111 :829 –835

26. Murray K, Christie D. Dietary protein intolerance in infants with transient methemoglobinemia and diarrhea. J Pediatr.1993; 122 :90 –92

27. Powell GK. Enterocolitis in low-birth-weight infants associated with milk and soy protein intolerance. J Pediatr.1976; 88 :840 –844

28. Gryboski J. Gastrointestinal milk allergy in infancy. Pediatrics.1967; 40 :354 –362

29. Lake AM. Food protein-induced colitis and gastroenteropathy in infants and children. In: Metcalfe DD, Sampson HA, Simon RA, eds. Food Allergy: Adverse Reactions to Foods and Food Additives. Boston, MA: Blackwell Scientific Publications; 1997:277–286

30. Halpin TC, Byrne WJ, Ament ME. Colitis, persistent diarrhea, and soy protein intolerance. J Pediatr.1977; 91 :404 –407

31. Jenkins H, Pincott J, Soothill J, Milla P, Harries J. Food allergy: the major cause of infantile colitis. Arch Dis Child.1984; 59 :326 –329

32. Benlounes N, Candalh C, Matarazzo P, Dupont C, Heyman M. The time-course of milk antigen-induced TNF-alpha secretion differs according to the clinical symptoms in children with cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol.1999; 104 :863 –869

33. Osterlund P, Jarvinen KM, Laine S, Suomalainen H. Defective tumor necrosis factor-alpha production in infants with cow’s milk allergy. Pediatr Allergy Immunol.1999; 10 :186 –190

34. Chung HL, Hwang JB, Park JJ, Kim SG. Expression of transforming growth factor beta1, transforming growth factor type I and II receptors, and TNF-alpha in the mucosa of the small intestine in infants with food protein-induced enterocolitis syndrome. J Allergy Clin Immunol.2002; 109 :150 –154

35. Busse P, Sampson HA, Sicherer SH. Non-resolution of infantile food protein-induced enterocolitis syndrome (FPIES). J Allergy Clin Immunol.2000; 105 :S129 (abstr)

36. Forget PP, Arenda JW. Cow’s milk protein allergy and gastroesophageal reflux. Eur J Pediatr.1985; 144 :298 –300

37. Staiano A, Troncone R, Simeone D, et al. Differentiation of cows’ milk intolerance and gastro-oesophageal reflux. Arch Dis Child.1995; 73 :439 –442

38. Cavataio F, Iacono G, Montalto G, et al. Gastroesophageal reflux associated with cow’s milk allergy in infants: which diagnostic examinations are useful? Am J Gastroenterol.1996; 91 :1215 –1220

39. Cavataio F, Iacono G, Montalto G, Soresi M, Tumminello M, Carroccio A. Clinical and pH-metric characteristics of gastro-oesophageal reflux secondary to cows’ milk protein allergy. Arch Dis Child.1996; 75 :51 –56

40. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F, et al. Gastroesophageal reflux and cow’s milk allergy in infants: a prospective study. J Allergy Clin Immunol.1996; 97 :822 –827

41. Ravelli AM, Tobanelli P, Volpi S, Ugazio AG. Vomiting and gastric motility in infants with cow’s milk allergy. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2001; 32 :59 –64

42. Milocco C, Torre G, Ventura A. Gastro-oesophageal reflux and cows’ milk protein allergy. Arch Dis Child.1997; 77 :183 –184

43. Hill DJ, Hosking CS. Infantile colic and food hypersensitivity. J Pediatr Gastroenterol Nutr.2000; 30(suppl) :S67 –S76

44. Lucassen PL, Assendelft WJ, Gubbels JW, van Eijk JT, van Geldrop WJ, Neven AK. Effectiveness of treatments for infantile colic: systematic review. Br Med J.1998; 316 :1563 –1569

45. Castro-Rodriguez JA, Stern DA, Halonen M, et al. Relation between infantile colic and asthma/atopy: a prospective study in an unselected population. Pediatrics.2001; 108 :878 –882

46. Sampson HA, McCaskill CC. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: evaluation of 113 patients. J Pediatr.1985; 107 :669 –675

47. Burks AW, James JM, Hiegel A, et al. Atopic dermatitis and food hypersensitivity reactions. J Pediatr.1998; 132 :132 –136

48. D’Netto MA, Herson VC, Hussain N, et al. Allergic gastroenteropathy in preterm infants. J Pediatr.2000; 137 :480 –486

49. Talley NJ, Shorter RG, Phillips SF, Zinsmeister AR. Eosinophilic gastroenteritis: a clinicopathological study of patients with disease of the mucosa, muscle layer, and subserosal tissues. Gut.1990; 31 :54 –58

50. Caldwell JH, Mekhjian HS, Hurtubise PE, Beman FM. Eosinophilic gastroenteritis with obstruction. Immunological studies of seven patients. Gastroenterology.1978; 74 :825 –828

51. Dobbins JW, Sheahan DG, Behar J. Eosinophilic gastroenteritis with esophageal involvement. Gastroenterology.1977; 72 :1312 –1316

52. Orenstein SR, Shalaby TM, Di Lorenzo C, Putnam PE, Sigurdsson L, Kocoshis SA. The spectrum of pediatric eosinophilic esophagitis beyond infancy: a clinical series of 30 children. Am J Gastroenterol.2000; 95 :1422 –1430

53. Vitellas KM, Bennett WF, Bova JG, Johnston JC, Caldwell JH, Mayle JE. Idiopathic eosinophilic esophagitis. Radiology.1993; 186 :789 –793

54. Martino F, Bruno G, Aprigliano D, et al. Effectiveness of a home-made meat based formula (the Rezza-Cardi diet) as a diagnostic tool in children with food-induced atopic dermatitis. Pediatr Allergy Immunol.1998; 9 :192 –196

55. Van Rosendaal GM, Anderson MA, Diamant NE. Eosinophilic esophagitis: case report and clinical perspective. Am J Gastroenterol.1997; 92 :1054 –1056

56. Rothenberg ME, Mishra A, Collins MH, Putnam PE. Pathogenesis and clinical features of eosinophilic esophagitis. J Allergy Clin Immunol.2001; 108 :891 –894

57. Attwood SE, Smyrk TC, Demeester TR, Jones JB. Esophageal eosinophilia with dysphagia. A distinct clinicopathologic syndrome. Dig Dis Sci.1993; 38 :109 –116

58. Ruchelli E, Wenner W, Voytek T, Brown K, Liacouras C. Severity of esophageal eosinophilia predicts response to conventional gastroesophageal reflux therapy. Pediatr Dev Pathol.1999; 2 :15 –18

59. Lee RG. Marked eosinophilia in esophageal mucosal biopsies. Am J Surg Pathol.1985; 9 :475 –479

60. Walsh SV, Antonioli DA, Goldman H, et al. Allergic esophagitis in children: a clinicopathological entity. Am J Surg Pathol.1999; 23 :390 –396

61. Liacouras CA, Wenner WJ, Brown K, Ruchelli E. Primary eosinophilic esophagitis in children: successful treatment with oral corticosteroids. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1998; 26 :380 –385

62. Kelly KJ, Lazenby AJ, Rowe PC, Yardley JH, Perman JA, Sampson HA. Eosinophilic esophagitis attributed to gastroesophageal reflux: improvement with an amino-acid based formula. Gastroenterology.1995; 109 :1503 –1512

63. Spergel JM, Beausoleil JL, Mascarenhas M, Liacouras CA. The use of skin prick tests and patch tests to identify causative foods in eosinophilic esophagitis. J Allergy Clin Immunol.2002; 109 :363 –368

64. Faubion WAJ, Perrault J, Burgart LJ, Zein NN, Clawson M, Freese DK. Treatment of eosinophilic esophagitis with inhaled corticosteroids. J Pediatr Gastroenterol Nutr.1998; 27 :90 –93

65. Shirai T, Hashimoto D, Suzuki K, et al. Successful treatment of eosinophilic gastroenteritis with suplatast tosilate. J Allergy Clin Immunol.2001; 107 :924 –925

66. Neustrom MR, Friesen C. Treatment of eosinophilic gastroenteritis with montelukast. J Allergy Clin Immunol.1999; 104 :506

67. Sicherer SH, Noone SA, Koerner CB, Christie L, Burks AW, Sampson HA. Hypoallergenicity and efficacy of an amino acid-based formula in children with cow’s milk and multiple food hypersensitivities. J Pediatr.2001; 138 :688 –693

68. Ortolani C, Ispano M, Pastorello E, Bigi A, Ansaloni R. The oral allergy syndrome. Ann Allergy.1988; 61 :47 –52

69. Ortolani C, Pastorello EA, Farioli L, et al. IgE-mediated allergy from vegetable allergens. Ann Allergy.1993; 71 :470 –476

70. Farrell RJ, Kelly CP. Celiac sprue. N Engl J Med.2002; 346 :180 –188

71. Ferguson A. Mechanisms in adverse reactions to food. The gastrointestinal tract. Allergy.1995; 50 :32 –38

72. Vanderhoof JA, Perry D, Hanner TL, Young RJ. Allergic constipation: association with infantile milk allergy. Clin Pediatr (Phila).2001; 40 :399 –402

73. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F, Montalto G, Cantarero MD, Notarbartolo A. Chronic constipation as a symptom of cow milk allergy. J Pediatr.1995; 126 :34 –39

74. Iacono G, Cavataio F, Montalto G, et al. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. N Engl J Med.1998; 339 :1100 –1104

75. Daher S, Tahan S, Sole D, et al. Cow’s milk protein intolerance and chronic constipation in children. Pediatr Allergy Immunol.2001; 12 :339 –342

76. Terr AI, Salvaggio JE. Controversial concepts in allergy and clinical immunology. In: Bierman CW, Pearlman DS, Shapiro GG, Busse WW, eds. Allergy, Asthma, and Immunology From Infancy to Adulthood. Philadelphia, PA: WB Saunders; 1996:749–760

77. Zeiger RS, Sampson HA, Bock SA, et al. Soy allergy in infants and children with IgE-associated cow’s milk allergy. J Pediatr.1999; 134 :614 –622

78. Bellioni-Businco B, Paganelli R, Lucenti P, Giampietro PG, Perborn H, Businco L. Allergenicity of goat’s milk in children with cow’s milk allergy. J Allergy Clin Immunol.1999; 103 :1191 –1194

79. Kelso JM, Sampson HA. Food protein-induced enterocolitis to casein hydrolysate formulas. J Allergy Clin Immunol.1993; 92 :909 –910

80. Frisner H, Rosendal A, Barkholt V. Identification of immunogenic maize proteins in a casein hydrolysate formula. Pediatr Allergy Immunol.2000; 11 :106 –110

81. Isolauri E, Sutas Y, Makinen KS, Oja SS, Isosomppi R, Turjanmaa K. Efficacy and safety of hydrolyzed cow milk and amino acid-derived formulas in infants with cow milk allergy. J Pediatr.1995; 127 :550 –557

82. Ventura A, Ciana G, Vinci A, Davanzo R, Giannotta A, Perini R. [Hypertrophic stenosis of the pylorus. Correlations with allergy to milk proteins and atopy]
Pediatr Med Chir. 1987 Nov-Dec;9(6):679-83. Italian.


didapat dari :

Children Allergy Center

Selasa, 04 Januari 2011

DIABETES PADA ANAK

Penyakit Diabetes Melitus (DM) atau akrab disebut kencing manis– khususnya tipe 2 yang bukan faktor keturunan– kini tak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja. Ironisnya lagi, diabetes pada anak sulit dideteksi, sehingga tidak bisa dicegah sejak dini.

Tidak ada tanda-tanda khusus dari seorang bayi yang memiliki potensi terkena diabetes saat usia dewasa, seorang anak baru akan terdeteksi menderita diabetes pada usia 7 tahun ke atas. Hal itu ditandai dengan sejumlah gejala yang mirip dengan gejala diare seperti
1. muntah,
2. sering buang air besar,
3. kesadaran menurun (koma),
4. dehidrasi berat,
5. kejang-kejang dan sebagainya.

Namun bedanya, nafas si anak berbau asam (aseton). Kondisi itulah yang membuat orang tua terkadang salah dalam menilai kondisi kesehatan buah hatinya. Banyak orang tua melihat gejala yang terjadi pada anaknya sebagai diare berat. Padahal dia sudah terserang diabetes. Tidak jarang anak penderita diabetes dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma.

Untuk mengantisipasi hal itu, orangtua harus memperhatikan kebiasaan makan dan aktivitas fisik anaknya di rumah. Selain juga memperhatikan perkembangan berat badan anak tersebut. Anak yang terindikasi menderita DM biasanya
1. sering cepat
2. merasa lapar dan haus,
3. buang air kecilnya banyak
4. dan berat badannya tidak pernah naik.

Kalau orangtua melihat gejala yang demikian, itu harus hati-hati. Coba ajak anak untuk memeriksa kadar gula darahnya. Kadar gula darah yang normal pada anak sama dengan kadar gula yang normal bagi orang dewasa yakni berkisar antara 100-140 mg/dl.

DM merupakan gangguan metabolisme karbohidrat karena jumlah insulin yang kurang, atau bisa juga karena kerja insulin yang tidak optimal. Insulin merupakan hormon yang dilepaskan oleh pankreas, yang bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang tepat.

Insulin membuat gula berpindah ke dalam sel sehingga menghasilkan energi, atau disimpan sebagai cadangan energi. Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau minum akan merangsang pankreas menghasilkan insulin, sehingga mencegah kenaikan kadar gula darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara perlahan.

Pada saat melakukan aktivitas fisik, kadar gula darah juga bisa menurun karena otot menggunakan glukosa untuk energi. Pada penderita DM, kerja insulin yang tidak optimal menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat. Akibatnya gula tidak bisa diubah menjadi glukogen. Gula juga akan melalui ginjal, sehingga urinenya mengandung glukose. Ini yang sering disebut orang sebagai kencing manis.

Selama ini anak-anak yang menderita diabetes masuk dalam tipe 1. Artinya, penyakit tersebut diturunkan dari orangtuanya karena terjadi defisiensi insulin akibat kerusakan sel beta pankreas dalam tubuhnya. Kondisi itu menyebabkan anak kekurangan hormon insulin.
Untuk DM tipe 1 pada anak bisa dikenali sejak awal.

Yang jadi masalah adalah orangtua yang tidak memiliki riwayat DM, biasanya lalai menjaga kesehatan anaknya sehingga kegemukan dan berpotensi terkena DM tipe 2.
Tidak semua anak obesitas memiliki peluang te terkena DM. Namun anak obesitas yang memiliki orangtua diabetes memiliki peluang yang besar untuk terkena penyakit yang sama dengan orangtuanya tersebut.

Suka Mengompol
diabetes pada anak dapat pula menyebabkan kematian dan mengganggu proses tumbuh kembangnya. Anak yang terkena DM hendaknya menjalani terapi insulin daripada mengkonsumsi obat-obatan. Anak yang menderita diabetes juga perlu dijaga pola makannya dan olahraga secara teratur.
Anak-anak memang agak sulit untuk diatur pola makannya, apalagi sekarang ini gerai makanan cepat saji tersedia dimana-mana. Di sinilah perlunya peran orangtua, keluarga dan guru dalam membantu anak untuk bisa memperhatikan pola makan yang baik dan aktivitas fisik yang terkontrol.

gejala awal DM biasa disebut dengan 3 P, yakni polifagi (banyak makan), polidipsi (banyak minum), dan poliuri (banyak kencing).
Akan tetapi, yang seringkali terjadi kalau anak banyak makan dan banyak minum, orang tua menganggap wajar. Sering kencing juga dianggap wajar, wong makan minumnya juga banyak. Itu yang membuat orang tua dan dokter kecolongan. Baru setelah anak terkena infeksi, baru diabetesnya kelihatan. pasien sering datang dalam keadaan kejang dan kesadaran menurun. Setelah dicek kadar gula darahnya baru ketahuan anaknya menderita DM. Pemeriksaan gula darah itu dijadikan pemeriksaan rutin supaya tidak kecolongan.

Gejala lain yang harus diwaspadai orang tua adalah jika si kecil tiba-tiba ngompol. Misalnya, sudah 3-4 tahun anak tidak ngompol, lalu mendadak, kok, ngompol lagi. Nah, itu harus dicurigai sebagai gejala diabetes.

DM tipe I bisa muncul sejak usia dini, bahkan bayi sekali pun. Cuma, kalau masih kecil, meski kekurangan insulin, biasanya tidak banyak. Jadi, tidak terlalu tampak meski kadar gulanya naik. Baru setelah anak semakin besar, makin kelihatan karena kebutuhan insulinnya makin banyak.

Apalagi kalau orangtua tidak mampu menjaga berat badan anaknya sehingga terkena obesitas. Anak-anak sekarang, hobi makan junk food yang jumlah kalorinya sangat besar. Tanpa serat, isinya hanya protein, lemak, dan karbohidrat. Kalau dihitung, bisa ribuan kalori per porsi. Padahal seharusnya porsi untuk sehari, sementara kalori yang dikeluarkan tidak sebanyak yang diasup.

Pada anak obesitas, kebutuhan insulin untuk metabolisme juga lebih banyak. “Kekurangan insulin makin lama akan makin menumpuk, meskipun kadang-kadang tidak bermanifestasi,” katanya. Pada anak obesitas, biasanya dilakukan pemeriksaan kadar gula darah. “Apabila sangat meningkat, harus diwaspadai anak mudah menjadi diabetes, meskipun biasanya ada faktor genetik dulu. Memang, tidak semua pasien obesitas menjadi diabetes tipe II. Hanya sedikit, tapi diet tetap perlu. Selain gula darah tinggi, risiko kegemukan lain adalah kolesterol tinggi.”

Diabetes patut mendapat perhatian karena penyakit tersebut telah menjadi kematian terbesar nomor lima di dunia. WHO melaporkan, jumlah kematian akibat penyakit tersebut di seluruh dunia adalah 3,2 juta orang per tahun. Itu artinya, setiap menit, 6 orang meninggal dunia akibat diabetes.

Diabetes Melitus (DM) dapat menyerang siapa saja dan tidak pandang usia. Penyebab pastinya masih menjadi misteri namun faktor-faktor genetik dan lingkungan diduga ikut berperan.

Anak-anak pun dapat mengalami DM jika obesitas. Obesitas menyebabkan sindrom metabolik, diawali resistensi insulin yang ditandai adanya warna kehitaman pada kulit di sekitar tengkuk. Biasanya, orang tua menduganya sebagai daki.
Meskipun menderita DM tipe 1, anak juga tetap dapat berprestasi. Atur pola makan, ajak si kecil berolah raga, dan tetap memantau pemberian insulin agar mempertahankan kadar glukosa di dalam darahnya senormal mungkin.

Kenali gejala DM seperti:
- Si kecil terus-menerus merasa haus dan buang air kecil. Kondisi tersebut biasanya timbul secara tiba-tiba selama beberapa hari.
- Berat badan turun drastis.
- Anak sering mengalami kelelahan, gangguan penglihatan, dan rewel tanpa sebab. Bila tak ditangani dengan baik, si kecil akan mulai merasa mual, napas berat, jantung berdebar-debar, kemudian pingsan.
“Jika gejala tersebut muncul, segera bawa ke dokter adalah yang paling tepat dilakukan orangtua,” kata Aman yang juga menambahkan bahwa bila kadar glukosa dalam darah mencapai 200 mg/dl dalam urin, berarti pertanda adanya DM.

Anak penderita DM tak boleh melakukan diet ketat sebagaimana orang dewasa. Yang harus dihindari adalah makanan yang bersifat high glisemic index yang menguras insulin. Dan sebaliknya, harus memperbanyak makanan berserat. Jangan makan makanan yang minim kalori sehingga kadar gula darah terlalu rendah atau hipoglikemia yang bisa menyebabkan pingsan. Ini membahayakan.
DM tipe 1 memang tidak bisa dihindari. Namun DM tipe 2 bisa dihindari melalui pola hidup yang baik dan benar, yaitu membatasi makanan dan melakukan olahraga secara teratur.

(Sumber “Suara Karya” dan Tabloid Nova)