Rabu, 20 Januari 2010

JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS

II.1 Definisi

Arthritis rheumatoid Juvenile (ARJ) merupakan penyakit arthritis kronis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun. Berdasarkan definisi, ARJ ditandai oleh menetapnya temuan peradangan secara objektif di satu atau lebih sendi selama paling sedikit 6 minggu dengan eksklusi kausa lain peradangan sendi pada anak usia 16 tahun atau kurang.

Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan arthritis ini. Istilah ARJ lebih banyak dipakai di Amerika Serikat yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut arthritis pada anak usia dibawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan istilah rematoid karena pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau keluarga yang menderita arthritis rematoid dengan faktor rematoid yang positif. Istilah arthritis kronik juvenile lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa). Adanya kerancuan dalam hal penggunaan istilah ini, maka timbul kesepakatan pada pertemuan EULAR untuk menggunakan istilah yang seragam. Istilah yang disepakati oleh EULAR adalah arthritis idiopatik juvenile (ARJ) yang dibagi dalam 7 subtipe.

II.2 Etiologi


Etiologi penyakit ini belum banyak diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi.


II. 3 Epidemiologi


ARJ merupakan arthritis yang lebih sering dijumpai pada anak-anak, insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya. Dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi arthritis kronik, 20% dengan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa pasien ARJ yang berlangsung lebih dari 7 tahun, 60% mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar 1-2/100.000/tahun dan Minnesota 35/100.000/tahun. ARJ banyak menyerang anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5 tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3:1. Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ. Suku Afrika dibanding suku Amerika dan Kaukasia lebih sering terkena di Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih dewasa, khususnya pada kelompok Oligo-artikular, dengan RF positif.

II.4 Klasifikasi


Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya dikenal sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American Rheumatism Association (ARA) artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang termasuk ke dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri lagi dari beberapa penyakit.

Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah direvisi tahun 1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan tahun 1995.
Menurut kriteria ARJ yang dipakai di AS, arthritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan.
(1)Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak disertai bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartikular lainnya.
(2)Pausiartikular ditandai dengan arthritis yang mengenai ≤ 4,
(3) Poliartikular ditandai dengan nyeri sendi ≥ 5


II.5 Patofisiologi dan Patogenesis

ARJ merupakan penyakit autoimun multisystem, yang terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan klinis dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisinya belum banyak diketahui. ARJ merupakan penyakit arthritis kronis heterogen yang umumnya menyerang perempuan ditandai dengan arthritis kronik yaitu ditemukannya tanda keradangan pada sinovium. Tanda adanya respon imun yaitu ditemukannya autoantibody tersebut, antara lain antibody ANA, factor rematoid dan antibody heat shock protein. Peran HLA juga sangat besar dalam pathogenesis ARJ.
Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi oleh sel mononuklir, hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebut antara lain: IL-2, IL-6, TNF-α, GM- CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran sel T untuk menimbulakan keradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif yang masih menjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel autoreaktif tak lepas dari peran HLA. Sitokin juga memegang peranan penting dalam proses pathogenesis ARJ. Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada 2 tipe sel T. Sel T tipe 1 lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFN-γ dan TNF-β, sedangkan pad tipe dua sitokin yang dilepaskan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Secara klinis sitokin ini mempengaruhi keseimbangan respon selular dan humoral. Pada arthritis rematoid yang dewasa diketahui bahwa sel T tipe 1 yang lebih dominan, ternyata demikian juga yang ditemukan pada ARJ, kecuali pada pausiartikular, sel T tipe 2 yang dominan. Kemokin diduga juga ikut berperan dalam pathogenesis ARJ. Kemokin merupakan factor penentu migrasi subtype sel T. Beberapa reseptor kemokin bertanggungjawab terhadap klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCR8 yang bertanggung jawab proliferasi sel T tipe 2, CXCR3 dan CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe 1, sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggung jawab terhadap kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah yang menimbulkan perbedaan pathogenesis. Dari penelitian Thompson dkk, melaporkan bahwa pada ARJ CCR4 sel T memegang peranan pathogenesis ARJ dan yang menentukan subtipenya. Dilaporkan bahwa aktivasi komplemen yang membentuk terminal attack complex yang terbanyak dijumpai pada sinovium pasien ARJ, kulit dan limpa. Aktivasi komplemen pada ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternative. Dari beberapa laporan pada ARJ aktivasi komplemen terbanyak melalui jalur alternative. Infeksi virus dan bakteri sebagai factor lingkungan yang berperanan dalam pathogenesis ARJ. Infeksi dikatakan dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T. Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60 dalam pengontrolan aktivasi sel T yang menimbulkan arthritis.

II.7 Gambaran Klinik


Adalah gejala klinis utama yang terlihat secara obyektif. Ditandai dengan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi sendi, atau paling sedikit 2 dari 3 gejala peradangan yaitu gerakan yang terbatas, nyeri jika digerakkan dan panas. Nyeri atau sakit biasanya tidak begitu menonjol. Pada anak kecil, yang lebih jelas adalah kekakuan sendi pada pergerakan, terutama pada pagi (morning stiffness).9
Subtipe ARJ bergantung pada gejala sistemik penyakit dan jumlah sendi yang terkena pada 6 bulan pertama perjalanan penyakit. Anak dikatakan mengidap ARJ awitan – sistemik apabila awitan penyakit disertai oleh demam tinggi yang melonjak-lonjak (sedikitnya 40oC) sampai selama 2 minggu dan (biasanya) oleh ruam yang cepat menghilang pada puncak demam tanpa dipengaruhi jumlah sendi yang terkena selama 6 bulan pertama. Pada ARJ pausiartikular, mengenai kurang dari 5 sendi pada 6 bulan pertama, penyakit poliartikular melibatkan lima atau lebih sendi. Masing- masing subtype penyakit, walaupun hanya bersifat deskriptif, memperlihatkan perjalanan penyakit, penyulit, dan prognosis yang berlainan.

ARJ Sistemik (Penyakit Still)


Penyakit ini merupakan kelompok ARJ yang sangat serius dibanding dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur dibawah 4 tahun. Penyakit ini hanya terjadi pada 10% dari semua anak dengan ARJ; tetapi pasien biasanya menderita sakit berat sehingga dirujuk ke pusat perawatan tersier. Subtype ini mengenai kedua jenis kelamin sama banyak dan pada semua kelompok usia; pada orang dewasa penyakit ini disebut sebagai “penyakit Still awitan-dewasa”.Sementara sebagian anak memang memperlihatkan bukti objektif adanya arthritis pada saat awitan, pasien umumnya datang dengan demam tinggi yang melonjak-lonjak disertai ruam-ruam yang cepat menghilang.
Pada umumnya anak-anak ini dirujuk setelah menderita demam yang tidak diketahui sebabnya selama beberapa minggu. Demam timbul setiap hari atau dua kali sehari, sering melonjak hingga 40 sampai 41oC pada sore hari; suhu sering menurun cepat sampai subnormal pada jam lain. Lonjakan demam sering disertai oleh ruam macular berwarna salem yang cepat menghilang, terutama timbul dibadan dan sebelah dalam paha. Tiap-tiap macula tidak kembali muncul di tempat yang sama pada lonjakan demam berikutnya. Ruam sering memperlihatkan fenomena koebner , yaitu kemampuan memicu timbulnya lesi dengan menggososk kulit secara lembut.1 Anak-anak ini sering kehilangan nafsu makan. Apabila anak cukup besar, mereka sering mengeluh artralgia dan/ mialgia yang parah (Rudolf) Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada ¾ kasus ditemukan limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit.Sendi yang sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari-jari tangan dapat terkena tetapi jarang. Gambaran laboratoriknya menunjukkan leukositosis dengan jumlah leukosit diatas 20.000nm3, anemia non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar feritin yang tinggi. Jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan komplikasi KID. Gejala ini biasanya membaik setelah satu tahun, sedangkan 50% pasien jatuh ke kronik arthritis dan 25% dengan gambaran erosi pada sendinya, komplikasi lainnya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.
Demam tinggi mungkin berlangsung berbulan-bulan sebelum muncul temuan sendi yang obyektif. Pada sebagian anak gejala sistemik akan berkurang secara perlahan sementara mereka terus mengalami penyakit sendi poliartikular. Yang lain mengalami serangan demam, ruam, dan keluhan sendi secara intermitten sepanjang masa kanak-kanak dan bahkan sampai masa dewasa, tetapi diantara serangan mereka mungkin terdapat massa normal. Informasi lain yang perlu diperhatikan pada arthritis tipe ini adalah, pemeriksaan darah dilakukan beberapa minggu dan bulan awal penyakit untuk menilai perkembangan anak. Pada beberapa anak gejala sistemik dari penyakit dan demam, dapat terlihat jelas setelah beberapa minggu hingga bulan diawal penyakit, meskipun gejala-gejala arthritis yang terkait sendi dapat dirasakan untuk waktu yang lebih lama. Onset ARJ sistemik dapat hilang dalam setahun pada beberapa anak yang terdiagnosis. Kekambuhan dapat terjadi tanpa peringatan sebelumnya, atau setelah infeksi virus (contoh, cacar). Kebanyakan anak dengan ARJ tipe sistemik dapat diobati dengan obat-obatan dalam sebulan hingga setahun, untuk mengontrol perkembangan dari keduanya baik arthritis maupun gejala-gejala sistemik seperti demam, ruam, anemia, dll. Uveitis atau peradangan mata, jarang terjadi pada ARJ tipe sistemik, sehingga mata mereka hanya perlu di periksa setahun sekali.

Oligoartritis / Pausi-artikuler


Bentuk penykit yang paling sering terjadi pada ARJ, Diartikan “sedikit sendi”, pauciarticular mengenai 4 sendi atau kurang. Sekitar 50% persen dari anak-anak dengan ARJ tergolong dalam tipe ini. , lebih sering mengenai satu sisi sendi dibandingkan kedua sisi sendi pada saat yang bersamaan, tetapi sering pada dua, tiga, sampai 4 sendi dalam 6 bulan berikutnya. Sering ditemukan mengenai sendi besar, paling banyak mengenai lutut, pergelangan kaki, siku. Jarang terjadi pada sendi-sendi kecil, jemari tangan, sendi ibu jari. Sebanyak 40 – 70% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak perempuan dengan umur 1-3 tahun. Dan sering dengan komplikasi uveitis kronik., unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok arthritis psoriatic atau ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah lutut, pergelangan kaki, siku dan jari-jari tangan.Pada laki-laki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA B27 positif.7,2
Dikelompokkan dua yaitu persisiten dan eksten, persisiten ditandai dengan arthritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan. Sedangkan kelompok eksten artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering kerusakan artikuler maupun periartikuler dan uveitis kronis.(ipd) Sejumlah kecil anak yang menderita penyakit ini (8%) akan mengalami bentuk poliartikular dengan prognosis serupa ARJ poliartikular.Namun sebagian lagi menunjukkan kinerja yang baik dalam kaitanyya dengan fungsi sendi.7 Dibagi juiga menjadi dua tipe , tipe pertama mengenai anak perempuan dengan umur dibawah 7 tahun. Beberapa anak dengan tipe ini juga disertai peradangan mata (iridocyclitis kronis atau uveitis kronis). Anak-anak ini harus di tes ANA (antinuclear antibody). Dari sini dapat diketahui, apakah anak tersebut memiliki resiko tinggi terkena uveitis. Hasil positif ANA mengindikasikan resiko tinggi terkena peradangan mata. Yang perlu diperhatikan, mata dalam kondisi tenang, artinya kerusakan mungkin tidak nampak pada anak.2 Tipe kedua dari pauciarticular biasa mengenai anak lelaki diatas 8 tahun. Sendi-sendi yang sering terkena pada tipe ini adalah: sendi sakroiliaka, lutut, pergelangan kaki, tendon. Anak-anak yang terdiagnosis dengan pauciarticular ARJ dan memiliki hasil positif ANA dan usianya dibawah 7 tahun, memiliki resiko besar untuk terkena uveitis kronis.Mata mereka harus diperiksa setiap 3 bulan,untuk beberapa tahun.

Poliartritis

Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 75% menyerang perempuan, gambaran artritisnya mirip arthritis rematoid dewasa, lebih banyak menyerang perempuan umur 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan, RF bisa positif maupun negatif. Pasien seronegatif cenderung berusia lebih muda dan lebih responsif terhadap pemberian terapi NSAID konvensional. Anak dengan ARJ poliartikular mungkin memperlihatkan beberapa gambaran sistemik, tetapi lebih ringan daripada yang tampak pada penyakit awitan sistemik.
Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan, dan anemia, uveitis sangat jarang pada kelompok ini, artritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan arthritis yang hanya pada beberapa sendidan baru beberapa bulan kemudian menjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi. Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang lebih muda ditandai dengan erosi sendi yang hebat, dengan manifestasi ekstraartikuler jarang., 25% didapatkan tes ANA positif,pada RF negative hanya terdapat 5%

II.7 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah:
(1) pemeriksaan darah lengkap,
(2) urin lengkap,
(3) faal hati,
(4) faal ginjal,
(5) tes ANA, dan
(6) faktor rematoid. Pada ARJ, didapatkan kadar CRP meningkat khususnya pada kelompok arthritis sistemik. Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED, C3, C4, amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit, Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi. Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis ARJ menjadi lebih sempurna.Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai lekositosis yang didominasi netrofil.Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda reaktifasi penyakit.Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif.
Beberapa peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan IgM merupakan karakteristik tersendiri dari ARJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktifitas penyakit. Berbeda dengan pada dewasa C3 dan C4 dijumpai lebi tinggi.Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif , sering kali pada ARJ poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk. Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan pada ARJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium. Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada ARJ. Kekerapannya lebih tinggi pada penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.

Pemeriksaan Radiologi


Tidak semua sendi kelompok ARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada kelompok poliartikular. Pemeriksaan pencitraan ARJ dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kerusakan yang terjadi pada keadaan klinis tertentu. Kelainan radiologik yang terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang agak jarang seperti formasi tulang baru periostal. Pada tingkat lebih lanjut (biasanya lebih dari 2 tahun) dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Angkilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Gambaran nekrosis aseptik jarang dijumpai pada ARJ walaupun dengan pengobatan steroid dosis tinggi jangka panjang. Gambaran agak khas pada tipe oligoartritis dapat terlihat berupa erosi tulang pada fase lanjut, pengecilan diameter tulang panjang, serta atrofi jaringan lunak regional sekunder. Kauffman dan Lovell mengajukan beberapa gambaran radiologik yang menurut mereka khas untuk ARJ sistemik, yaitu a) tulang panjang yang memendek, melengkung, dan melebar, b) metafisis mengembang, dan c) fragmentasi iregular epifisis pada masa awal sakit yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis. Pemeriksaan foto Rontgen tidak sensitif untuk mendeteksi penyakit tulang atau manifestasi jaringan lunak pada fase awal. Selain dengan foto Rontgen biasa kelainan tulang dan sendi ARJ dapat pula dideteksi lebih dini melalui skintigrafi dengan technetium 99m. Pemeriksaan radionuklida ini sensitif namun kurang spesifik. Skintigrafi menunjukkan keadaan hemodinamik dan aktivitas metabolik di tulang dan sendi saat pemeriksaan dilakukan, sehingga dapat menunjukkan inflamasi sendi secara dini. Ultrasonografi merupakan sarana paling baik untuk mengetahui keadaan cairan intra-artrikular, terutama pada sendi-sendi yang susah dilakukan pemeriksaan cairan secara klinis, seperti pinggul dan bahu. Ultrasonografi juga dapat menilai efusi atau sinovitis dengan menilai penebalan membran sinovial dari sendi yang meradang, bursa dan pembungkus tendon. Pemeriksaan MRI yang dipadu dengan gadolinium juga dapat membedakan inflamasi sinovium dengan cairan sinovial. Sarana MRI dapat digunakan untuk menilai aspek inflamasi dan destruktif dari penyakit artritis. Berlawanan dengan foto Rontgen, pemeriksaan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi jaringan lunak dan perubahan tulang pada fase awal, selain itu dapat menilai progresifitas penyakit. Pemeriksaan MRI dan/atau ultrasonografi dapat digunakan dalam evaluasi suspek penyakit inflamasi sendi untuk menentukan ada atau tidaknya sinovitis, tenosinovitis, entesitis atau erosi tulang. Ultrasonografi dapat digunakan sebagai pedoman untuk punksi sendi, bursa dan pembungkus tendon. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut. Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam metafisis.

II.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pada penyakit ARJ, diantaranya adalah:
(1) infeksi bakteri, virus, tuberkulosis,
(2) Post infeksi streptokokus,
(3) Trauma,
(4) Kelainan hematologi: Leukimia, hemophilia,
(5) Penyakit Kolagen,
(6) Demam rematik, yang membedakannnya dari ARJ ialah, pada demam rematik didapat kan gejala chorea, interval PR memanjang pada pemeriksaan EKG dan tes ASTO positif.


II.9 Diagnosis


Seperti telah dijelaskan maka diagnosis JRA dibuat semata-mata secara klinis. Walaupun beberapa pemeriksaan imunologik tertentu dapat menyokong harus tetap diingat bahwa tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk diagnosis ARJ.


Klinis

Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri ekstremitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan kearah ARJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis.9
Kriteria diagnosis artritis reumatoid juvenil menurut AMERICAN COLLEGE OF RHEUMATOLOGY (ACR):
(1)Usia penderita kurang dari 16 tahun,
(2) Artritis pada satu sendi atau lebih (ditandai pembengkakan/efusi sendi atau terdapat 2/lebih gejala : kekakuan sendi, nyeri/sakit pada pergerakan, suhu daerah sendi naik), (
(3) Lama sakit lebih dari 6 minggu,
(4) Tipe awitan penyakit dalam masa 6 bulan terdiri dari :
(1) Poliartritis (5 sendi ata lebih),
(2)Oligoartritis (4 sendi atau lebih),
(3) Penyakit sistemik dengan artritis atau demam intermiten,
(5) Penyakit artritis juvenil lain dapat disingkirkan, walaupun tidak ada yang patognomonik namun gejala klinis yang menyokong kecurigaan ke arah ARJ yaitu kaku sendi pada pagi hari, ruam reumatoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis kronik, spondilitis servikal, nodul reumatoid, tenosinovitis


II.10 Penatalaksanaan

Pengobatan utama adalah suportif. Tujuan utama adalah mengendalikan gejala klinis, mencegah deformitas, meningkatkan kualitas hidup. Garis besar pengobatan Meliputi :
(1) Program dasar yaitu pemberian : Asam asetil salisilat; Keseimbangan aktifitas dan istirahat; Fisioterapi dan latihan; Pendidikan keluarga dan penderita; Keterlibatan sekolah dan lingkungan; (2). Obat anti-inflamasi non steroid yang lain, yaitu Tolmetindan Naproksen;
(3). Obat steroid intra-artikuler;
(4). Perawatan Rumah Sakit dan
(5). Pembedahan profilaksis dan rekonstruksi.
Dasar pengobatan ARJ adalah suportif, bukan kuratif. Tujuan pengobatan adalah mengontrol nyeri, menjaga kekuatan dan fungsi otot serta rentang gerakan (range of motion), mengatasi komplikasi sistemik, memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan yang normal. Karena itu pengobatan dilakukan secara terpadu untuk mengontrol manifestasi klinis dan mencegah deformitas dengan melibatkan dokter anak, ahli fisioterapi, latihan kerja, pekerja sosial, dan bila perlu konsultasi pada ahli bedah dan psikiatri. Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi rasa nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang permanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan, nutrisi juga tak kalah penting. Beberapa terapi yang dapat diberikan

Mengontrol Nyeri


Pengelolaan nyeri pada anak tidak mudah, masalahnya sangat kompleks, karena pada umumnya anak-anak belum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) Obat anti-inflamasi nonsteroid digunakan pada sebagian besar anak dalam terapi inisial. Obat golongan ini mempunyai efek antipiretik, analgesik dan antiinflamasi serta aman untuk penggunaan jangka panjang pada anak. Obat ini menghambat sintesis prostaglandin. Sebagian besar anak dengan tipe oligoartritis dan sedikit poliartritis mempunyai respons baik terhadap pengobatan AINS tanpa memerlukan tambahan obat lini kedua.
Efek samping yang sering dijumpai antara lain anoreksi, nyeri perut, gangguan fungsi hati, ginjal dan gastrointestinal. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali.
Macam OAINS yang sering digunakan (1) Penggunaan aspirin sebagai pilihan obat telah digantikan dengan AINS karena adanya peningkatan toksisitas gaster dan hepatotoksisitas yang ditandai dengan transaminasemia. Dengan adanya AINS yang menghambat siklus siklooksigenase (COX), khususnya COX-2 maka penggunaan AINS lebih dipilih daripada aspirin karena tidak menyebabkan agregasi trombosit, sehingga dapat digunakan pada pasien yang mempunyai masalah perdarahan. Namun demikian, aspirin masih mampu menekan demam dan aspek inflamasi lainnya dan terbukti aman dalam penggunaan jangka panjang. Dosis yang biasa dipakai adalah 75-90 mg/kgBB/hari dalam 3 atau 4 kali pemberian, diberikan bersama dengan makanan untuk mencegah iritasi lambung. Dosis tinggi biasanya untuk anak yang beratnya kurang dari 25 kg sedangkan untuk anak yang lebih besar diberikan dosis lebih rendah. Aspirin diberikan terus sampai 1 atau 2 tahun setelah gejala klinis menghilang.
(1) Aspirin 75-90 mg/Kg/hari. Dosis yang diberikan dapat lebih tinggi pada anak yang lebih dewasa.
(2) Tolmetin 25 mg/Kg/hari dibagi dalam 4 dosis,
(3) Naproksen 15 mg/Kg/ hari dibagi dalam 2 dosis, bersama makanan. Dapat timbul efek samping berupa ketidaknyamanan epigastrik dan pseudoporfiria kutaneus yang ditandai dengan erupi bulosa pada wajah, tangan dan meninggalkan jaringan parut.
(4) Ibuprofen 35 mg/Kg/ hari dibagi 4 dosis,
(5) Diklofenak 2-3 mg/Kg/hari terbagi dalam 2 dosis.


DMARD (Disease Modifying Antirheumatic Drugs)


Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi lebih lanjut:

(1) Hidroksiklorokuin: 4-6 mg/Kg/hari, maksimal 300 mg/hari. Mermpunyai imunomodilator dan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi retina setiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi saluran cerna, dan supresi sum-sum tulang. Angka kesembuhan berkisar antara 15 – 75%,

(2) Preparat emas oral maupun intramuscular dosis 5mg/minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75 – 1mg/Kg/minggu. Efek sampingnya adalah supresi sum-sum tulang dan ginjal,

(3) Obat-obat sitotoksik: Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50mg/Kg/hari sampai. Tidak dianjurkan untuk anak yang sensitive sulfasalazin, Metotreksat (MTX): Dosis 10 mg/m2luas permukaan tubuh/ minggu. MTX aman digunakan jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh rematologis oleh karena efek sampingnya lebih ringan dan respon yang sangat tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitu oral ulcer, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat tinggi, hal ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alcohol dan mengurangi obat-obatan hepatotoksik.

(4) Glukokortikoid, baik untuk mengontrol gejala sistemik arthritis, perikarditis, dan demam. Dosis yang dipakai 0,5-2mg/kg/hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra- artikular bermanfaat untuk arthritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan peroral dengan dosis 30 mg/Kg/hari selama 3 hari berturut-turut, pada kasus tertentu membutuhkan imunosupresan, efek samping kortikosteroid, infeksi varisela.


Biologic Response Modifiers


Pendekatan terapi terbaru menggunakan etanercept sebagai agen biologik yang berfungsi sebagai penghambat Tumor Necrosis Factor(TNF), sehingga akan menghambat pengeluaran sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Etanercept akan terikat pada komponen Fc imunoglobulin dan efektif dalam mengontrol poliartritis yang tidak memberikan respon dengan terapi konvensional ataupun imunosupresan. Sebelum diberikan terapi, data dasar laboratorium (darah perifer, LED, CRP, urinalisis) harus diambil dan uji tuberkulin kulit dengan PPD (purified protein derivative) menunjukkan hasil negatif. Dosis yang digunakan untuk anak usia 4-17 tahun yaitu 0,4 mg/kgBB subkutan 2 kali dalam seminggu, minimal dengan jangka waktu terpisah 72-96 jam (maksimum 25 mg/dosis). Obat sebelumnya, baik AINS atau metotreksat tetap dilanjutkan. Sedangkan untuk usia 17 tahun keatas diberikan dengan dosis dewasa, yaitu diberikan bersamaan dengan metotreksat dalam infus intravena 3 mg/kgBB pada minggu 0, 2, 6 dan setelah itu setiap 8 minggu untuk pemeliharaan. Pilihan lain adalah pemberian dosis tunggal etanercept setiap minggu untuk dosis 25 mg atau kurang pada pasien baru atau usia 4-17 tahun. Apabila dosis mingguan melebihi 25 mg, maka digunakan dua lokasi suntikan subkutan. Obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan infeksi atau riwayat infeksi rekuren.
Penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) dalam mengatasi onset poliartritis dan sistemik belum menunjukkan hasil klinis yang konsisten. Pada sebuah studi, penggunaan IVIG pada onset sistemik tidak memberi banyak manfaat dibanding plasebo, sedangkan pada poliartritis, dapat diberikan dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB, 2x/bulan dalam 2 bulan pertama kemudian 1x/bulan untuk 6 bulan selanjutnya (dosis maksimum 100 gr). Beberapa studi juga melaporkan siklosporin untuk mengatasi artritis kronik dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis, terpisah dalam 12 jam.

Fisioterapi


Banyak manfaat yang dapat diberikan oleh fisioterapi, antara lain: mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi dan TENS. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.


Pengelolaan nutrisi


Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai resiko untuk terjadi malnutrisi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan juga mempengaruhi penurunan nafsu makan . Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain penurunan nafsu makan adalah adanya keradangan pada temporo mandibula. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin, zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D 400IU dan kalsium 400mg sedangkan kalsium 800mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.


II. Komplikasi


komplikasi ARJ terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan akibat penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada mandibula, metakarpal, dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula terjadi seperti angkilosis, luksasi, atau fraktur. Komplikasi ini biasanya berhubungan dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat efek pengobatan steroid. Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau gastritis, hepatotoksik atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada ARJ. Amiloidosis sekunder jarang terjadi, tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai gagal ginjal.
Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai komplikasi berupa anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis mempunyai komplikasi uveitis yang sering asimtomatik. Komplikasi lainnya yang cukup penting adalah masalah psikologi anak akibat penyakit ini, seperti depresi, ansietas dan masalah di sekolah. Komplikasi yang lain adalah vaskulitis, ensefalitis. Amiloidosis sekunder dapat terjadi walaupun jarang dan dapat fatal karena gagal ginjal. Uveitis merupakan penyakit peradangan pada mata,merupakan keadaan serius dari ocular yang secara spesifik mengenai satu atau lebih dari tiga bagian yang membentuk uvea. Iris, badan siliar, choroid,. Keadaan ini diperkirakan 10-15% menjadi penyebab dari kebutaan di Negara berkembang. Dapat mengenai kedua mata, dapat berhubungan dengan ifeksi atau penyakit sisitemik, uveitis adalah penyakit yang bisa ditangani, meskipun apabila kejadiannya meninggalkan sisa, atau episode pengulangan dari peradangan, ini dapat mengenai jaringan dan kebutaan.

II.12 Prognosis


Perjalanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta tipe dari ARJ pada tipe sistremik arthritis dengan demam tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi, dan trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25% tipe poliartikular remisi dalam 5 tahun dan 2/3 pasien ARJ mengalami erosi sendi.
Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk:
(1) tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama,
(2) Poliartritis,
(3) Perempuan,
(4) Faktor rheumatoid positif,
(5) Kaku sendi yang persisten,
(6) Tenosinovitis,
(7) Nodul Subkutan,
(8) Tes ANA +,
(9) Artritis pada jari tangan dan kaki pada awal penyakit,
(10) erosi yang progresif,
(11) Pausiartikuler tipe eksten


DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham, Rudolph. 2006. Buku Ajar Ilmu Pediatri Rudolph.Jakarta: EGC
2. Arthritis Foundation, 2007. Pauciarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions
/diseasecenter/pauciarticularJRA.asp

3. Arthritis Foundation, 2007. Polyarticular JRA, available at:
http://ww2.arthritis.org/conditions
/diseasecenter/polyarticularJRA.asp

4. Arthritis Foundation, 2007. Systemic JRA, available at: http://ww2.arthritis.org/conditions
/diseasecenter/systemiconsetJRA.asp

5. Baratawijaya, Karnen. 2005. Imunologi Dasar. Jakarta: Gaya Baru

6. Criteria for the classification arthritis rheumatoid, 2009, available at:
www. American College of
Rheumatology.com

7. Sudoyo, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

8. Tim Perumus Format Standar Pelayanan Medik IDAI. 2003. Standar Pelayanan Medik Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI

9. Judarwanto, Widodo. 2008. Artritis Pada Anak, available at: www. children’s IMMUNOLOGY
CLINIC. Com

10. Juvenile arthritis, 2007, available at:
www. American Academy of Orthopaedics Surgeons.com 11. Juvenile Idiophatic Arthritis, 2009. Available at: http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/294/13
/1722.pdf
12. http://rachman-soleman.blogspot.com

1 komentar: